Wakil Ketua Komisi X DPR, Himmatul Aliyah, menyoroti kasus 2 murid taman kanak-kanak (TK) di , Sulawesi Selatan (Sulsel), yang di-drop out (DO) usai orang tua protes biaya wisuda Rp 850 ribu. Pihaknya menyayangkan kejadian yang dianggap tidak mendidik tersebut.
Dilansir dari infoNews, Himmatul mengatakan protes orang tua siswa seharusnya dihargai dan bukan dikenakan sanksi. Dia mengatakan rangkaian kegiatan pelepasan atau penamatan siswa seharusnya tidak membebankan orang tua siswa.
“Tindakan ini tidak mencerminkan semangat pendidikan yang humanis, adil, dan mendidik,” kata Himmatul dalam keterangannya kepada wartawan, Minggu (4/5/2025).
Dia mengatakan proses wisuda seharusnya digelar dengan secara sederhana. Himmatul menuturkan wisuda sebaiknya diisi dengan pentas seni atau pertunjukan bakat hingga pemberian apresiasi bagi siswa berprestasi.
“Saya mengimbau kementerian terkait dan dinas pendidikan di daerah untuk menertibkan kebijakan sekolah terkait pungutan yang tidak wajar, termasuk biaya wisuda yang tidak esensial,” tuturnya.
Menurut dia, kebijakan wisuda dengan tarif tinggi bisa menimbulkan kesenjangan dan diskriminasi dalam dunia pendidikan. Himmatul menuturkan, biaya wisuda seharusnya bisa dimanfaatkan orang tua siswa mempersiapkan anaknya melanjutkan pendidikan.
“Pada dasarnya, wisuda tidak perlu diadakan di jenjang pendidikan usia dini dan pendidikan dasar, cukup dilaksanakan di perguruan tinggi,” imbuh Himmatul.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI lainnya, Lalu Hadrian Irfani menyarankan wisuda diganti dengan cara sederhana. Dia menegaskan wisuda bukan keharusan.
“Alternatifnya bisa berupa syukuran sederhana di sekolah, pameran karya siswa, atau acara perpisahan kreatif yang melibatkan gotong royong,” ujar Hadrian.
Hadrian mengatakan biaya wisuda harus menyesuaikan kemampuan orang tua para pelajar. Jangan sampai kegiatan bertarif itu justru membebani siswa.
“Sebaiknya biaya wisuda disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rata-rata orang tua dan tidak melebihi kebutuhan pokok acara sederhana,” lanjutnya.
Sebelumnya diberitakan, kasus tersebut terjadi di TK Tunas Muda, Kecamatan Tallo, Makassar. TK tersebut rencananya menggelar berbagai rangkaian kegiatan dalam rangka wisuda siswa tahun ajaran 2024-2025 pada Mei 2025 ini.
Berdasarkan informasi dari grup TK itu, kegiatan pelepasan rencananya digelar dengan berwisata di Pantai Galesong Utara pada 5 Mei. Selain itu ada acara penampilan tarian yang disiarkan secara live di saluran televisi pada 18 Mei mendatang.
Salah satu ortu siswa, Rahmawati menjelaskan, biaya mengikuti rangkaian wisuda siswa itu terdiri dari kegiatan pelepasan Rp 700 ribu dan acara tampil di televisi Rp 150 ribu yang biayanya dipotong dari buku tabungan pelajar anaknya. Namun dari hasil penelusurannya, biaya untuk tampil televisi justru sudah diambil dari biaya operasional pendidikan (BOP).
“Buku tabungan Rp 1.116.000 dipotong Rp 700 ribu (untuk pelepasan) dan untuk uang tampil di televisi Rp 150 ribu. Ternyata ada data tentang BOP, ternyata isinya itu BOP yang tahun 2023, ada juga anakku tamat di situ, data BOP itu, yang tampil di TVRI dananya diambil dari BOP. Terus selama ini kita bayar,” kata Rahmawati.
Sikap Rahmawati yang mempertanyakan biaya penamatan siswa TK itu berujung membuat anaknya dikeluarkan dari sekolah pada 29 April lalu. Sepupunya yang juga guru di TK tersebut ternyata mengalami hal serupa.
“Gara-gara itu kemarin anakku dikeluarkan sama anaknya sepupu yang guru di situ. Pas mengundurkan diri, dikasih keluar juga anaknya,” ungkap Rahmawati.
Ortu siswa TK lainnya, Yanti juga mengaku memutuskan mengundurkan diri sebagai guru dari sekolah tersebut karena tidak adanya transparansi soal biaya penamatan. Namun keputusannya itu membuat anaknya ikut dikeluarkan.
“Saya tidak sangka juga ternyata dia langsung kasih keluar anakku. Itu yang bikin sakit hati karena sudah sekolah dua tahun, masa langsung keluar tapi tidak dapat ijazah,” ujar Yanti.