Pengumuman kenaikan Upah Minimum Provinsi Sulawesi Selatan () 2026 molor dari jadwal yang ditentukan sebelumnya. UMP Sulsel 2026 terlambat ditetapkan karena regulasi dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) belum terbit.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Sulsel Jayadi Nas mengatakan, UMP Sulsel 2026 sedianya diumumkan pada 21 November 2025. Jayadi menargetkan kenaikan UMP Sulsel terbaru dijadwalkan akan kembali diumumkan Desember 2025 mendatang.
“Iya (pengumuman UMP Sulsel 2026 molor), biasanya memang kan tanggal 21 (November), tapi tahun lalu juga kan 11 Desember. Cuma memang biasanya setiap tanggal 21 November,” ujar Jayadi kepada infoSulsel, Jumat (21/11/2025).
Jayadi mengaku masih menunggu petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksanaan juklak (juklak) dari Kemnaker. Aturan itu nantinya menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam merumuskan kenaikan UMP.
“Karena sampai sekarang belum ada juklak dan juknis, maka kita menunggu saja. Yang jelas ini kan (UMP Sulsel) berlakunya nanti di 2026,” tambah Jayadi.
Kendati begitu, pembahasan UMP Sulsel 2026 sudah bergulir di tingkat Dewan Pengupahan Sulsel. Pihaknya melibatkan serikat pekerja hingga asosiasi pengusaha untuk menyiapkan formulasi perhitungan dalam menentukan UMP terbaru.
“Kami sudah melakukan persiapan secara teknis. Cuma sambil menunggu ini juklak dan juknis dari Kementerian Ketenagakerjaan yang sementara kami tunggu. Kalau sudah ada itu kami langsung tetapkan,” jelasnya.
Jayadi melanjutkan, pihaknya sudah menerima berbagai masukan dari serikat buruh dan pengusaha terkait UMP Sulsel 2026. Segala usulan akan kembali dikaji lebih lanjut begitu juknis dan juklak Kemnaker sudah terbit.
“Itu yang kami lakukan, jadi ada beberapa opsi-opsi, tetapi kita tidak bisa mengatakan seperti apa nantinya karena opsi itu kan harus berdasarkan pada juklak dan juknis dari Kementerian Tenaga Kerja,” ucapnya.
Namun Jayadi tidak merinci opsi-opsi yang menjadi alternatif dalam menentukan UMP Sulsel 2026. Dia enggan berspekulasi lebih jauh soal target kenaikan UMP terbaru sampai ada petunjuk dari pemerintah pusat.
“Karena itu belum ada (juknis dan juklak dari Kemnaker), maka opsi-opsi itu kita simpan baik-baik dulu sambil menunggu seperti apa nanti petunjuk dari Kementerian Tenaga Kerja,” tambah Jayadi.
Sementara itu, Menaker Yassierli mengaku sedang menyiapkan regulasi berbentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur UMP 2026. Beleid itu akan mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168 Tahun 2023 yang merevisi sejumlah pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja, termasuk soal upah minimum.
Putusan MK mengamanatkan bahwa upah harus mempertimbangkan kebutuhan hidup layak (KHL) buruh. Dengan begitu, PP terbaru akan mengubah tata cara penghitungan upah minimum dengan mempertimbangkan beberapa aspek.
“Sehingga kita membentuk tim untuk merumuskan dan menghitung, mengestimasi kira-kira kebutuhan hidup layak itu berapa,” ujar Yassierli dalam konferensi pers di Kemnaker, Jakarta Selatan, dilansir dari infoFinance, Kamis (20/11).
Yassierli menuturkan, angka yang digunakan untuk menghitung formulasi kenaikan UMP di tiap daerah nantinya akan berbeda tergantung pertumbuhan ekonomi. Dewan Pengupahan daerah juga diberi kewenangan lebih dalam perhitungan upah minimum sesuai dengan amanat MK.
“Jadi kita sadar bahwa ada provinsi atau ada kota kabupaten yang memang pertumbuhan ekonominya tinggi, silakan, dia boleh lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi, kota atau kabupaten yang memang pertumbuhan ekonominya tidak tinggi,” jelasnya.
Diketahui, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Sulsel menuntut UMP Sulsel 2026 naik 10%. Kenaikan UMP tersebut dianggap sudah memperhitungkan kebutuhan hidup layak (KHL).
“Kita sudah rapat koordinasi mengusulkan (kenaikan UMP Sulsel 2026) itu di angka minimal 10%. Dengan mengacu kepada KHL kan,” ungkap Ketua KSPSI Sulsel Basri Abbas kepada infoSulsel, Kamis (9/10).
Diketahui, UMP tahun 2025 atau yang berlaku saat ini ditetapkan sebesar Rp 3.657.527. Berdasarkan hitungan kasar dengan usulan kenaikan 10% sebagai acuan, maka UMP Sulsel 2026 bertambah Rp 365.752 atau menjadi Rp 4.023.279.
“Alasan kita (mengusulkan kenaikan UMP 2026 sebesar 10%) karena pertumbuhan ekonomi sudah bagus. Kemudian konsumsi buruh kemarin sudah bagaimana meningkatkan daya beli,” jelasnya.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
Menurut Basri, UMP yang berlaku saat ini belum berdampak signifikan terhadap kesejahteraan buruh. Dia menegaskan kenaikan UMP menjadi solusi untuk menggerakkan roda perekonomian.
“Kalau memang menormalkan kondisi ekonomi, ya solusinya naikkan UMP 10% untuk berdampak luas kepada masyarakat sehingga daya beli tinggi. Itulah harapan buruh,” imbuh Basri.
Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sulsel menilai kenaikan upah harus mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi. Kenaikan UMP 2026 tidak boleh jauh dari kondisi ekonomi riil agar tidak membebani dunia usaha.
“Seharusnya kenaikan itu tidak jauh-jauh dari pertumbuhan ekonomi Sulsel. Sulsel kalau nggak salah sekarang belum sampai 5%, jadi kira-kira kelayakannya seputar begitu,” ujar Ketua Apindo Sulsel Suhardi kepada infoSulsel, Senin (13/10).
Suhardi memaklumi usulan serikat buruh yang meminta UMP Sulsel 2026 naik 10%. Namun dia khawatir kenaikan UMP yang terlalu besar bisa berdampak negatif pada dunia usaha khususnya tenaga kerja sendiri.
“Artinya perusahaan juga akan mencari cara untuk efisiensi. Misalkan, membatasi penerimaan (tenaga kerja) atau merasionalisasi,” sebutnya.
Dia mengaku UMP Sulsel 2025 yang sebelumnya naik 6,5% sebenarnya sudah membebani pengusaha. Kendati begitu, Apindo akan tetap mengikuti keputusan pemerintah nantinya asalkan penetapannya demi menjaga stabilitas hubungan industrial.
“Tahun lalu kita sebenarnya tidak sepakat sebenarnya 6,5% karena sudah dipatok. Tapi, apa pun sudah diputuskan pemerintah, kita ikut. Kita di angka 5% tahun lalu itu,” pungkas Suhardi.
Buruh Minta UMP Sulsel 2026 Naik 10%
Apindo Ikuti Angka Pertumbuhan Ekonomi
Diketahui, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Sulsel menuntut UMP Sulsel 2026 naik 10%. Kenaikan UMP tersebut dianggap sudah memperhitungkan kebutuhan hidup layak (KHL).
“Kita sudah rapat koordinasi mengusulkan (kenaikan UMP Sulsel 2026) itu di angka minimal 10%. Dengan mengacu kepada KHL kan,” ungkap Ketua KSPSI Sulsel Basri Abbas kepada infoSulsel, Kamis (9/10).
Diketahui, UMP tahun 2025 atau yang berlaku saat ini ditetapkan sebesar Rp 3.657.527. Berdasarkan hitungan kasar dengan usulan kenaikan 10% sebagai acuan, maka UMP Sulsel 2026 bertambah Rp 365.752 atau menjadi Rp 4.023.279.
“Alasan kita (mengusulkan kenaikan UMP 2026 sebesar 10%) karena pertumbuhan ekonomi sudah bagus. Kemudian konsumsi buruh kemarin sudah bagaimana meningkatkan daya beli,” jelasnya.
Menurut Basri, UMP yang berlaku saat ini belum berdampak signifikan terhadap kesejahteraan buruh. Dia menegaskan kenaikan UMP menjadi solusi untuk menggerakkan roda perekonomian.
“Kalau memang menormalkan kondisi ekonomi, ya solusinya naikkan UMP 10% untuk berdampak luas kepada masyarakat sehingga daya beli tinggi. Itulah harapan buruh,” imbuh Basri.
Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sulsel menilai kenaikan upah harus mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi. Kenaikan UMP 2026 tidak boleh jauh dari kondisi ekonomi riil agar tidak membebani dunia usaha.
“Seharusnya kenaikan itu tidak jauh-jauh dari pertumbuhan ekonomi Sulsel. Sulsel kalau nggak salah sekarang belum sampai 5%, jadi kira-kira kelayakannya seputar begitu,” ujar Ketua Apindo Sulsel Suhardi kepada infoSulsel, Senin (13/10).
Suhardi memaklumi usulan serikat buruh yang meminta UMP Sulsel 2026 naik 10%. Namun dia khawatir kenaikan UMP yang terlalu besar bisa berdampak negatif pada dunia usaha khususnya tenaga kerja sendiri.
“Artinya perusahaan juga akan mencari cara untuk efisiensi. Misalkan, membatasi penerimaan (tenaga kerja) atau merasionalisasi,” sebutnya.
Dia mengaku UMP Sulsel 2025 yang sebelumnya naik 6,5% sebenarnya sudah membebani pengusaha. Kendati begitu, Apindo akan tetap mengikuti keputusan pemerintah nantinya asalkan penetapannya demi menjaga stabilitas hubungan industrial.
“Tahun lalu kita sebenarnya tidak sepakat sebenarnya 6,5% karena sudah dipatok. Tapi, apa pun sudah diputuskan pemerintah, kita ikut. Kita di angka 5% tahun lalu itu,” pungkas Suhardi.
