KKB Papua Rekrut Milenial Jadi Anggota, Manfaatkan Isu Lapangan Kerja Minim

Posted on

Satgas Damai Cartenz mengungkap kelompok kriminal bersenjata (KKB) di wilayah gencar merekrut pemuda dan kaum milenial menjadi anggota. KKB memanfaatkan isu minimnya lapangan kerja di balik proses perekrutan.

Kepala Operasi Damai Cartenz Brigjen Faizal Ramadhani mulanya menjelaskan, aktivitas KKB tersebar di 14 kabupaten dimana 11 di antaranya masuk dalam wilayah operasi. Dari jumlah tersebut, 5 kabupaten teridentifikasi memiliki intensitas gangguan keamanan yang tinggi

“Terutama karena dominasi anggota KKB yang berasal dari kalangan anak muda dan milenial,” ungkap Faizal dalam keterangannya, Kamis (17/7/2025).

Faizal tidak merinci nama kabupaten tempat aktivitas KKB yang dimaksud. Namun dia menyebut gangguan keamanan di wilayah tertentu tinggi karena dipengaruhi proses perekrutan anggota baru yang terus bergulir.

“Kelompok-kelompok ini banyak merekrut pemuda dengan berbagai alasan, tidak hanya karena ideologi Papua merdeka, tetapi juga karena faktor lain seperti minimnya lapangan kerja, kesenjangan pembangunan, dan keterbatasan akses terhadap kesejahteraan,” ungkapnya.

Faizal mengklaim situasi keamanan di Papua saat ini masih tergolong kondusif dan terkendali. Namun dia mengaku ada beberapa wilayah lain dengan tingkat kerawanan yang tinggi.

“Sampai saat ini situasi di Papua masih dalam kondisi kondusif. Memang ada dinamika dan kerawanan, tetapi seluruhnya masih dalam kendali kami,” tuturnya.

Dia menekankan penanganan konflik dan keamanan di Papua tidak bisa dibebankan hanya kepada institusi Polri maupun TNI. Menurut dia, penanganan konflik di Papua bagian dari kebijakan nasional yang harus didukung oleh seluruh pemangku kepentingan.

“Polri tidak mungkin berdiri sendiri. Penanganan Papua harus menjadi kerja kolektif seluruh stakeholder. Ini menyangkut pendekatan keamanan, sosial, ekonomi, dan pembangunan,” ujarnya.

Di satu sisi, Faizal menekankan bahwa penyelesaian konflik Papua memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan perubahan paradigma. Penanganan konflik tidak bisa hanya mengandalkan operasi keamanan semata, tetapi juga perlu penanganan sosial, ekonomi, dan ideologis secara serempak.

“Permasalahannya bukan cuma senjata. Ada ketimpangan, ada keterbatasan, ada luka sejarah. Maka penyelesaiannya harus berbasis paradigma yang baru dan komprehensif, tidak bisa parsial. Kalau belum satu pemahaman, sulit bicara strategi teknis jangka panjang,” pungkasnya.