Malam 1 Suro dikenal sebagai momen sakral dalam tradisi Jawa yang sarat dengan nilai spiritual dan budaya. Pada malam ini, terdapat berbagai pantangan yang dipercaya secara turun-temurun.
Pantangan malam 1 Suro merupakan bentuk penghormatan terhadap leluhur serta upaya menjaga keselamatan diri dari hal-hal yang dianggap pamali atau membawa kesialan. Beberapa di antaranya dilarang berisik, menggelar hajatan, berkata kasar, hingga keluar malam.
Nah, untuk mengetahuinya lebih lanjut, berikut ulasan mengenai pantangan malam 1 Suro yang dipercayai dalam tradisi masyarakat Jawa. Simak, yuk!
Berikut sejumlah pantangan malam 1 Suro yang dirangkum dari Jurnal Kajian, Bahasa dan Sastra berjudul “Larangan Beserta Tradisi Malam 1 Suro di Surakarta” dan Jurnal Universitas Buddhi Dharma berjudul “Makna Komunikasi Ritual Masyarakat Jawa (Studi Kasus pada Tradisi Perayaan Malam Satu Suro di Keraton Yogyakarta, Keraton Surakarta, dan Pura Mangkunegaran Solo):
Berbicara keras atau berisik dipercaya oleh sebagian masyarakat Jawa sebagai salah satu pantang di malam 1 Suro. Pantangan ini sejatinya berkaitan dengan tradisi Tapa Bisu Mubeng Beteng yang berkembang di Keraton Yogyakarta.
Tradisi Tapa Bisu Mubeng merupakan ritual mengelilingi benteng keraton yang berjarak kurang lebih 4 km saat malam 1 Suro. Pelaksanaannya dilakukan oleh para abdi keraton dan diiringi masyarakat.
Selama prosesi berlangsung, tidak ada seorangpun diperbolehkan mengeluarkan suara. Tujuannya yaitu untuk merenung sekaligus mengevaluasi diri atas satu tahun yang telah dilewati.
Pantangan menggelar pesta atau hajatan tidak hanya berlaku pada malam 1 Suro, melainkan sepanjang bulan. Menggelar hajatan atau pesta dipercaya tidak boleh dilakukan karena dianggap kurang baik.
Sebab bulan Suro dipandang sebagai bulan untuk menyepi dan berdoa, bukan perayaan. Namun, sebagian masyarakat juga meyakini bahwa menggelar pesta baik pernikahan atau sunatan di bulan Suro adalah pamali dan akan membawa bencana.
Pantangan lain yang cukup luas diyakini adalah keluar rumah. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, lebih baik berdiam diri di rumah terutama pada malam satu Suro. Jika melanggar larangan keluar malam, maka dipercaya akan mendatangkan kesialan atau hal negatif.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
Pada malam 1 Suro seseorang harus menjaga lisannya ketika berbicara. Jika berkata kasar atau buruk, maka diyakini orang tersebut akan dicari oleh makhluk gaib.
Sosok makhluk gaib tersebut diceritakan memang keluar dan mencari manusia yang tidak waspada. Oleh karenanya, sebaiknya memperhatikan perkataan apabila sudah memasuki malam ini.
Pindahan atau membangun rumah juga tidak diperkenankan pada malam 1 Suro. Apabila dilakukan, maka dipercaya akan membawa kesialan bagi orang yang melanggarnya.
Di dalam Tradisi Jawa, bulan Suro dianggap sebagai waktu yang penuh dengan spiritualitas. Oleh karenanya, masyarakat diimbau untuk menjaga hubungan yang baik dengan sesama.
Sebaiknya pada malam tersebut, seseorang menghindari konflik dari faktor mana saja dan melakukan refleksi diri.
Beberapa orang percaya bahwa bepergian jauh di bulan Suro dapat mengakibatkan risiko besar. Risiko tersebut dipercaya akan menelan banyak korban jiwa, salah satu contohnya kecelakaan lalu lintas.
Sebab, pada bulan Suro terdapat kepercayaan akan ada orang yang dijadikan tumbal di bulan ini. Hal ini merupakan kepercayaan yang telah turun-temurun diyakini masyarakat Jawa.
Terakhir, selama bulan Suro, seseorang dianjurkan untuk menghindari berbagai hal yang bersifat duniawi dan berlebihan. Sebab bagi masyarakat Jawa terutama umat muslim, bulan Suro dipandang sebagai waktu yang tepat untuk berpuasa, bermeditasi, dan memperbanyak doa.
Kegiatan yang terlalu menekankan kesenangan duniawi dianggap kurang selaras dengan makna spiritual dan kesakralan bulan Suro. Pantangan ini tidak bersifat wajib, namun dilakukan berdasarkan pada kepercayaan dan adat istiadat.
Dikutip kembali dari Jurnal Kajian, Bahasa dan Sastra, pantangan dan larangan yang diyakini masyarakat mengenai bulan Suro menurut Islam dijelaskan oleh Buya Yahya. Ia menyebutkan bahwa masyarakat sering menganggap bulan Muharram atau Suro adalah bulan keramat.
Ada pula yang mempercayai bahwa bulan Suro penuh kesialan sehingga tidak ingin menyelenggarakan hajatan dan sebagainya. Seperti yang juga disebutkan sebelumnya, beberapa pantangan dianggap mengakibatkan musibah dan bencana.
Buya Yahya meluruskan bahwa sikap-sikap seperti itu merupakan hal yang mencela waktu dan beranggapan sial dengan waktu tertentu. Sementara, sikap mencela waktu itu adalah kebiasaan orang-orang musyrik.
Dengan demikian, dari sudut pandang Islam memercayai pantangan-pantangan yang membawa kesialan di waktu tertentu seperti dikhususkan pada bulan Suro merupakan sikap mencela waktu. Sikap tersebut adalah perbuatan musyrik atau menyekutukan Allah SWT.
Itulah pantangan-pantangan malam 1 Suro dalam tradisi Jawa beserta penjelasannya. Semoga bermanfaat!