Praktisi hukum bernama Mastan buka suara soal kasus dua guru ASN di Luwu Utara (Lutra), Sulawesi Selatan (sulsel), yang disanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) usai terlibat tindak pidana. Mastan menyebut Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman memberhentikan kedua guru itu sepenuhnya berdasarkan pada putusan Mahkamah Agung (MA) yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah).
Mastan menjelaskan, Pemprov Sulsel hanya menjalankan kewajiban hukum, bukan mengambil keputusan sepihak. Dia menilai posisi kebijakan Andi Sudirman tidak salah karena seluruh tindakan pemerintah daerah dilakukan sesuai perintah pengadilan yang bersifat imperatif.
“Pemprov Sulsel hanya menjalankan kewajiban hukum, bukan mengambil keputusan sepihak sebagaimana disampaikan sebagian pihak yang mencoba menyalahkan Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman,” ucap Mastan dalam keterangannya, Minggu (16/11/2025).
Mastan lantas menguraikan kembali fakta hukum dalam putusan MA yang melibatkan dua guru bernama Rasnal dan Abdul Muis. Sejak 2018 hingga 2021, Rasnal yang sempat menjabat sebagai Kepala SMA Negeri 1 Luwu Utara bersama Abdul Muis terbukti melakukan pungutan komite sekolah secara tidak sah.
Kedua memungut dana dari orang tua siswa dengan dalih membayar guru honorer dan tunjangan-tunjangan sekolah lainnya hingga mengancam siswa tidak dapat menerima kartu ujian jika tidak membayar. Praktik ini dinilai melanggar Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 karena komite sekolah tidak boleh berasal dari unsur pendidik dan penggalangan dana hanya boleh berupa sumbangan, bukan pungutan.
Mastan menekankan persoalan ini bukan hanya sekadar pungutan untuk kebutuhan sekolah. Berdasarkan putusan MA, dana sebesar Rp 770 juta lebih yang dihimpun selama tiga tahun disimpan di rekening pribadi seorang guru yang merangkap bendahara komite.
Kedua guru tersebut dinilai terbukti menikmati uang tersebut untuk kepentingan pribadi. Terdakwa dan saksi masing-masing mendapatkan bagian senilai Rp 11,1 juta. Fakta inilah yang memperkuat unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dinyatakan dalam pasal-pasal yang didakwakan.
Kedua guru itu sempat divonis bebas alias tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri (PN) Makassar. Namun, putusan itu dianulir MA pada tingkat kasasi yang mana keduanya dihukum pidana penjara selama 1 tahun dan denda Rp 50 juta.
Menurut Mastan, putusan ini menegaskan perbuatan para guru tersebut tidak hanya melanggar aturan administrasi, tetapi juga memenuhi unsur pidana. Dengan dasar putusan yang sudah inkrah ini membuat Pemprov Sulsel tidak memiliki ruang untuk menolak ataupun menunda pelaksanaan eksekusi administratif terhadap para ASN tersebut.
Pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan yudikatif, dan tugasnya hanyalah menjalankan konsekuensi dari putusan pengadilan. Situasi inilah yang belakangan mengharuskan gubernur Sulsel mengeluarkan kebijakan pemecatan kepada kedua guru tersebut.
Mastan menilai segala kritik yang diarahkan kepada gubernur Sulsel dinilai tidak berdasar dan mengabaikan fakta hukum yang telah jelas. Dia turut mengingatkan publik bahwa kewenangan pemberian grasi atau rehabilitasi berada di tangan Presiden, bukan pemerintah provinsi.
Dia melanjutkan, Pemprov Sulsel hanya menjalankan kewajiban sesuai perintah Mahkamah Agung. Dia berharap polemik publik dihentikan dan masyarakat memahami bahwa keputusan pemberhentian justru merupakan bentuk penegakan integritas dan akuntabilitas ASN.
“Gubernur Sulsel bertindak sesuai hukum dan tidak memiliki kewenangan untuk membatalkan putusan. Justru Pemprov memperlihatkan komitmen kuat terhadap supremasi hukum,” pungkas Mastan.
