Kasus sopir pete-pete bernama Kahar (38) yang mengaku setiap hari dipalak Rp 5 ribu di , Sulawesi Selatan (Sulsel), berbuntut panjang. Pria berinisial AI yang diduga melakukan pemalakan kini dilaporkan ke polisi atas dugaan pemerasan.
Peristiwa ini bermula saat pengemudi angkot trayek Daya (Pasar Sentral-Sudiang) dicegat saat melintas di Jalan Perintis Kemerdekaan, Kecamatan Biringkanaya, Sabtu (22/3) sekitar pukul 14.00 Wita. Kahar dimintai pungutan oleh AI yang mengaku utusan dari Organisasi Angkutan Darat (Organda).
“Jadi orang semua membayar Rp 5 ribu per mobil. Sekarang dia itu yang sopir-sopir semua takut semua jadi dia membayar semua sama dia,” ungkap Kahar kepada infoSulsel, Sabtu (5/4/2025).
Kahar mengaku tidak diperkenankan melintas sebelum membayar nominal uang yang diminta. Mobil yang dikemudikan Kahar bahkan dituduh ilegal alias tidak memiliki izin trayek resmi.
“Nah ini mobil bukan mobil ilegal karena ini izin trayek sudah ada, cuma tinggal peralihan dari dinas perhubungan. Nah dia terpaksa tahan itu baru tinggal itu mobil,” keluhnya.
Kahar sempat merekam aksi pemalakan tersebut karena kesal pekerjaannya dihambat. Dia mengaku mempertanyakan dasar penarikan uang Rp 5 ribu dan peruntukan uang yang disetorkan kepada oknum Organda itu.
“Per hari (bayar Rp 5 ribu). Jadi kalau hari-hari toh berapa mobil (pete-pete), kan banyak mobil. Jadi Rp 5 ribu (kalau) kali banyak (jumlahnya besar). Tapi ini (juga dipertanyakan), itu yang tagih lari ke mana (uangnya),” ujar Kahar.
Belakangan, kasus ini dilaporkan oleh pemilik angkot atau pete-pete ke Polrestabes Makassar pada Jumat (11/4). Pemilik pete-pete bernama Felixander Baan melaporkan oknum Organda inisial AI terkait dugaan pemerasan berdasarkan bukti video beredar.
Kasus dugaan pemerasan ini teregister di Polrestabes Makassar dengan nomor perkara: LP/B/589/IV/SPKT/Polrestabes Makassar/Polda Sulawesi Selatan. Felix berharap polisi segera menindaklanjuti laporannya.
“Jadi kami waktu mau mengurus di SPKT itu diarahkan ke reserse dulu, di reserse itu mereka (polisi) mengatakan bahwa ini masuk dalam pasal 368 (KUHP) pemerasan, karena pungutan liar itu tidak ada,” kata Felix kepada infoSulsel, Minggu (13/4).
Felix menyebut Kahar memang tidak mendapat ancaman secara langsung. Namun sikap oknum utusan Organda itu membuat Kahar dalam posisi terpaksa membayar pungutan Rp 5 ribu.
“Kahar ngomong kemarin tidak ada ancaman, cuma dia (pemalak) pegang kayu, pukul tiang listrik. Nah kalau pemaksaannya ada tidak boleh lewat gitu,” tuturnya.
Terlapor saat itu sempat menantang Kahar untuk memanggil pemilik angkot sebagaimana dalam video viral di media sosial. Felix kemudian turun langsung ke lokasi saat pete-pete miliknya tertahan di jalan.
“Di video itu jelas Kahar ditahan unitnya tidak bisa jalan, (lalu) bertengkar. Setelah bertengkar oknum yang mencatut nama Organda itu memanggil-manggil saya pemiliknya,” ucap Felix.
“Dia sebut sebut namaku di video itu makanya saya datang dan melihat praktik pemungutan secara langsung semua mobil yang lewat ditagih, dihentikan baru diambil duitnya,” tambahnya.
Felix mengaku heran dengan kejadian yang menimpa Kahar saat mengoperasikan pete-pete miliknya. Felix mempertanyakan dasar hukum di balik dugaan pemerasan yang dilakukan oknum pria utusan Organda itu.
“Ada rekaman yang kami ambil waktu itu hari (Kahar dipalak), karena saya itu hari kan berargumen, dasarmu apa untuk ini? Katanya ini kesepakatan seratus sopir, ah saya minta bukti tanda tangannya mana?” jelas Felix.
Ketua Organda Makassar Rahim Bustam berdalih pungutan itu diambil berdasarkan kesepakatan pemilik angkot dan sopir untuk mengawasi mobil tanpa izin trayek resmi. Dia mengaku setoran uang Rp 5 ribu itu bukan pungutan liar melainkan sumbangan suka rela untuk petugas posko.
“(Pungutan itu dari) Persetujuan sopir, ada tanda tangannya mereka itu begitu. Dan itu bukan pungutan (liar), itu istilahnya itu sukarela. Tidak ada yang dipaksa. Ada pernyataannya sopir itu terhadap kerja sama posko,” kata Rahim Bustam kepada infoSulsel, Sabtu (5/4).
Rahim lantas menduga ada kecemburuan dari pihak lain yang ingin memaksakan kendaraan masuk ke trayek Daya tanpa memiliki izin trayek yang sah. Hal itu berkaitan dengan upaya posko untuk menghalau kendaraan yang beroperasi tanpa izin resmi.
“Ini karena kecemburuan ada orang yang mau memaksa memasukkan mobil di trayek Daya tanpa memiliki izin trayek itu. Tujuannya posko dia menghalau adanya kendaraan-kendaraan yang beroperasi yang tidak memiliki izin trayek Daya itu saja,” paparnya.
Dia melanjutkan, setoran Rp 5 ribu dari sopir pete-pete uang pungutan itu digunakan oleh penjaga posko trayek Daya untuk kebutuhan sehari-hari. Para penjaga posko merupakan sopir pete-pete yang tidak lagi mengemudi.
“Dia (penjaga posko di trayek Daya) bagi, dia pakai makan tidak disetor ke Organda bukan disetor ke polisi, bukan disetor ke (dinas) perhubungan. Dia pakai makan kasihan itu,” ucap Rahim.
Menurut Rahim, orang yang menjaga posko bukanlah pengurus Organda. Dia mengatakan, Organda hanya memberikan legalitas berupa surat keterangan sebagai bentuk perlindungan kepada penjaga posko.
“Kita berikan legalitas, kita kasih nama, jangan sampai orang lain yang berbuat dia yang kena. Jadi dikasih surat berdasarkan dengan permintaan sopir itu. Jadi tidak semua sopir juga membayar,” jelasnya.