Warga mengeluhkan lahan kosong dijadikan tempat pembuangan akhir (TPA) liar di Jalan Metro Tanjung Bunga, Kecamatan Mariso, Kota , Sulawesi Selatan (Sulsel). Keberadaan limbah itu semakin mengganggu saat sampahnya dibakar hingga memicu polisi udara.
Pantauan infoSulsel di lokasi Minggu (17/8/205) sekitar pukul 12.55 Wita, tampak tiga orang warga sedang beristirahat usai melakukan pemilahan sampah di TPA liar tersebut. Mereka mengaku bekerja sudah sejak setahun terakhir di lokasi tersebut.
Lahan seluas 2 hektare tersebut merupakan lahan kosong yang dijual pemiliknya. Sebelumnya, lahan itu merupakan kawasan empang, namun delapan tahun lalu ditimbun dan dijadikan TPA liar.
Ada beberapa titik api pembakaran sampah. Hasil pembakaran itu menimbulkan asap yang kemudian menyebar cepat mengikuti arah angin.
Sampah di lokasi terdiri dari limbah sampah bongkaran bangunan proyek, ranting pohon hingga sampah rumah tangga yang dibungkus plastik. Sampah-sampah yang dibuang itu kemudian dipilah oleh para pemulung.
Sampah yang masih bisa digunakan dan memiliki nilai jual dikumpulkan dalam satu wadah, sementara sampah yang tidak lagi bernilai dibakar.
“Bukan TPA di sini, ini sudah delapan tahun jadi tempat pembuangan bongkaran bangunan dari proyek-proyek sekitar. Sampah dikumpul di sini baru dipilah mana yang bisa dipakai lagi atau dijual,” kata warga setempat bernama Ilu saat ditemui infoSulsel.
Ilu turut mengeluhkan asap dari pembakaran sampah di lokasi yang mengganggu permukiman. Warga bahkan pernah ditegur satpam hotel sekitar TPA liar tersebut.
“Pernah satpam datang bilang jangan bakar sampah. Tapi kita bilang tidak ada yang bakar di sini. Sampah plastik dari warga sekitar itu yang terbakar,” ujarnya.
“Yang berasap itu sampah plastik dari warga sekitar sini, itu sudah satu minggu mi terbakar, masih ada asapnya, tidak matipi apinya,” tambah Ilu.
Menurut dia, selain limbah bongkaran bangunan, ada mobil sampah berwarna hijau yang kerap ikut membuang ranting di lokasi tersebut. Ilu menduga mobil sampah tersebut milik pemerintah.
“Harusnya nda ada laporan, karena sama-sama ji manfaatkan. Tapi kalau sampah dari mal atau hotel, kita tidak mau. Kalau warga sekitar, kita lihat juga sampahnya, bukan apanya baunya tawwa,” paparnya.
Ilu mengaku sudah tinggal di kawasan tersebut selama 20 tahun. Namun aktivitas pembuangan sampah mulai gencar karena tidak adanya teguran dari pemerintah setempat.
“Kalau saya warga asli sini, sudah 20 tahun tinggal di sini. Dulu sebelum ditimbun ini empang. Baru satu tahun terakhir mulai masuk bahan bongkaran proyek. Kalau ada besinya bisa diambil lalu dijual,” imbuh Ilu.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Makassar Helmy Budiman akan segera menindaklanjuti keluhan warga tersebut. Dia mengaku persoalan ini sebelumnya turut disoroti DPRD Makassar.
“Sudah ada tim pemantauan yang kami bentuk. Tim pemantauan, insyaallah, ini juga sudah di-notice semua, termasuk tadi DPRD,” ungkap Helmy.