Hukuman mantan Ketua KONI Makassar Ahmad Susanto dalam perkara dugaan korupsi dana hibah Rp 5,8 miliar bertambah dari 4 tahun menjadi 5 tahun di tingkat banding. Ahmad Susanto juga tetap dikenakan denda Rp 100 juta dalam perkara tersebut.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Ahmad Susanto oleh karena itu pidana penjara selama 5 tahun dan pidana denda sejumlah Rp 100 juta,” demikian putusan Pengadilan Tinggi Makassar, dilihat infosulsel pada situs resmi Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Senin (20/10/2025).
Putusan banding tersebut dikeluarkan pada Rabu (24/9) lalu. Dalam putusan tersebut, hukuman Ahmad Susanto berpotensi bertambah bila dia tidak membayar denda Rp 100 juta tersebut.
“Apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan,” ujar hakim.
Tak sampai di situ, Ahmad Susanto juga dihukum membayar uang pengganti senilai Rp 133 juta. Uang pengganti tersebut harus dibayarkan selama sebulan setelah putusan telah berkekuatan hukum tetap atau inkracht.
“Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan,” terang hakim.
Ahmad Susanto sebagaimana dalam putusan banding dinyatakan terbukti dan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Perbuatan Ahmad Susanto dinilai melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 ayat 1 huruf b UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak dan Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat ke-1 KUHPidana juncto Pasal 64 ayat 1 KUHPidana sebagaimana dakwaan subsidair JPU.
Ahmad Susanto sebelumnya sempat curhat panjang lebar terkait proses hukum perkara yang dijalaninya. Hal itu diungkapkan Ahmad Susanto setelah menjalani sidang vonis 4 tahun penjara di PN Makassar pada Senin (11/8) lalu.
Ahmad Susanto saat itu awalnya menjelaskan soal pilihannya untuk tidak berkomentar di media sejak tahap penyelidikan hingga sidang putusan. Menurutnya, sikap tersebut merupakan bentuk penghormatan terhadap proses hukum yang tengah berlangsung.
“Tetapi pada hari ini, kalau kita lihat di nasional lagi ribu-ribut persoalan Tom Lembong, saya kira apa yang kita saksikan di Pengadilan hari ini Tom Lembong versi lokalnya,” ujar Ahmad Susanto kepada wartawan usai menjalani sidang putusan di Ruang Bagir Manan, PN Makassar, Senin (11/8).
Namun setelah mendengarkan putusan majelis hakim, Ahmad Susanto menilai putusan itu banyak menyalin tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dia juga menilai hakim mengabaikan banyak fakta yang terungkap di persidangan.
“Jadi puluhan kali kita melakukan sidang di tempat ini, saya kira banyak kali yang diabaikan di dalam persidangan ini,” tuturnya.
Salah satu fakta yang terungkap di persidangan, kata Ahmad, dia tidak pernah menggunakan satu rupiah pun dari dana hibah KONI Makassar untuk kepentingan pribadinya. Selain itu, tidak ada fakta yang membuktikan dirinya memperkaya diri sendiri atau menambah kekayaan dengan dana hibah KONI.
Lebih lanjut dia menegaskan jika tidak ada kegiatan fiktif selama dirinya menjabat sebagai Ketua KONI Makassar. Menurutnya, kegiatan yang dituding fiktif itu belum memiliki laporan pertanggungjawaban karena masih berlangsung.
“Pada saat pemeriksaan (kasus dugaan korupsi) itu masih tahun anggaran berjalan, berarti belum ada laporannya di tahun itu. Tetapi setelah 31 Desember itu sudah ada laporannya dan itu sudah dikoreksi sama hakim,” katanya.
Ahmad Susanto juga mengungkapkan adanya kejanggalan dalam kasus yang menjeratnya. Dia mengaku mulai mendapatkan ancaman ketika memutuskan untuk mengikuti kontestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 Kota Makassar.
“Saya itu sudah diancam sejak bulan 11, bulan 12, bulan 1 2023. (Tahun) 2024 bulan 3 begitu saya mendaftar ke salah satu partai, itu saya sudah dipanggil untuk penyelidikan. Kemudian bulan 8 saya menyatakan dukungan (kepada) Mulia, Pak Appi dan Bu Aliyah, 1 minggu kemudian naik penyidikan,” jelasnya.
Tak berselang lama setelah pemilihan, dirinya pun ditangkap dan ditahan. Dia merasa janggal sebab ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi, padahal angka kerugian negara belum ditemukan.
“Ini yang paling anehnya, syarat untuk menetapkan orang tersangka itu adalah kerugian negara. Saya ditahan 9 Desember (2024), kemudian mulai diaudit bulan Februari 2025, dan nanti hasil kerugian negara itu keluar di bulan lima tahun 2025,” terang Ahmad.
“Artinya, 5 bulan ma ditahan baru ada kerugian negara dan dasar untuk penahanan itu adalah kerugian negara,” lanjutnya.
Dia menilai hal yang paling janggal adalah ketika kejaksaan menggelar jumpa pers saat dirinya ditahan. Saat itu, kejaksaan telah mengumumkan kerugian negara sebesar Rp 5,8 miliar, sementara audit belum dilakukan.
“Nanti bulan 5 tahun berikutnya baru ada audit, yang sama persis nilainya Rp 5,8 miliar,” bebernya.
Dia juga mengaku ancaman yang terimanya sebelum maju Pilkada 2024 adalah akan diperiksa oleh pihak kejaksaan. Saat ditanya soal sosok pelaku ancaman tersebut adalah mantan Wali Kota Makassar, Ahmad enggan menyebutkannya.
“Ada lah, saya tidak perlu sebutkan, ada oknumnya cukup berkuasa, mantan penguasa di Kota Makassar ini,” katanya.