Kisah percintaan Datu Museng dari Gowa dengan Putri Sumbawa Maipa Deapati menjadi cerita cinta yang cukup populer di Sulsel, bak kisah Romeo dan Juliet dari Italia atau Laila Majnun berasal dari Tanah Arab. Tak hanya di kalangan warga Makassar, kisah cinta mereka tersohor hingga ke mancanegara.
Datu Museng merupakan putra dari Karaeng Gassing, prajurit Angkatan Laut Kerajaan Gowa. Ia jatuh cinta dengan Maipa Deapati, putri Sultan Sumbawa Datu Taliwang yang merupakan keturunan bangsawan. Keduanya mulai mengenal satu sama lain saat Datu Museng dibawa oleh kakeknya Ade Arangan melarikan diri dari tanah Gowa menuju ke negeri Sumbawa.
Sayangnya, perbedaan status sosial keduanya menjadi penghalang bagi mereka untuk bersatu. Hubungan mereka ditentang keras oleh ayah Maipa. Terlebih Maipa saat itu telah dijodohkan dengan seorang bangsawan dari Kerajaan Lombok, I Mangalasa.
Namun, keduanya tak menyerah begitu saja. Setelah perjuangan panjang, hubungan mereka mulai mendapat restu dari ayah Maipa Deapati.
Tak lama setelah keduanya menikah, Datu Museng berangkat ke Makassar dalam misi menaklukkan penjajah Belanda. Sang istri yang tak mau berpisah dengan belahan jiwanya pun ikut serta dalam perjalanan itu.
Setibanya di Ujung Pandang (Makassar), mereka dihadapkan pada masalah baru, pimpinan Belanda yang menduduki wilayah Makassar kala itu rupanya menginginkan Maipa. Dia pun mengatur siasat untuk merebut istri Datu Museng yang cantik jelita tersebut.
Mengetahui dirinya diinginkan oleh Belanda, Maipa pun meminta suaminya untuk membunuhnya, sebab dia tak sudi jika harus jatuh ke pelukan orang lain. Datu Museng yang saat itu juga sudah memiliki firasat ajalnya akan tiba pun menyanggupinya.
Dengan berat hati, dia menghunuskan keris miliknya sendiri ke leher istrinya dan berjanji untuk segera menyusul. Di hari yang sama, Datu Museng pun menyusul kekasih hatinya setelah memasuki waktu maghrib.(1)
Kisah cinta Datu Museng dan Maipa Deapati diceritakan secara turun temurun melalui sastra tutur orang Makassar yang dikenal dengan istilah Sinrilik. Tak hanya di kalangan warga Makassar, cerita ini juga sangat terkenal di Sumbawa.
Sayangnya keaslian cerita tersebut saat ini sulit ditelusuri karena minimnya literatur tertulis. Seiring berjalannya waktu, cerita ini pun mulai bermunculan dalam berbagai versi. Bahkan dalam beberapa sumber, kisah cinta Datu Museng dan Maipa Deapati ini dikategorikan sebagai cerita rakyat atau bahkan legenda.
Berdasarkan penjelasan Prof Muhlis Hadrawi, dosen Sastra Daerah Universitas Hasanuddin, kisah Datu Museng dan Maipa Deapati ini bukanlah rekaan belaka. Kisah ini dilatarbelakangi oleh sejarah yang kuat. Hal inilah yang membuat cerita tersebut menjadi begitu tersohor.
“Ceritanya memang kesohor karena bukan cerita rekaan, tapi cerita betul betul faktual. Cerita yang memiliki latar sejarah yang kuat, itulah sebabnya, dia lebih dari sekedar rekaan,” ujarnya saat ditemui infoSulsel, Rabu (30/7/2025).
Lebih lanjut, Prof Muhlis menjelaskan, yang menarik dari gaya penceritaan orang-orang Bugis-Makassar adalah, mereka menceritakan sesuatu dengan apa adanya, polos dan lugu. Setiap kisah dengan tokoh-tokoh yang ada pasti disebutkan ceritanya dengan sebenar-benarnya tanpa ditambah maupun dikurangi.
“Bugis-Makassar polos, lugu dan ceritanya apa adanya. Sehingga tingkat objektivitasnya sangat tinggi,” terangnya.
“Sehingga ceritanya yang didengar oleh siapapun dari Cina, dari mana, dia akan memperlakukan kisah Maipa kisah nyata dan kisah yang orisinil, bukan cerita yang dipenuhi hoax,” sambungnya.
Kendati ditanya mengenai banyaknya versi cerita Datu Museng dan Maipa Deapati, Prof Muhlis mengatakan bahwa itu adalah hal yang wajar. Sebab, informasi yang disampaikan turun-temurun secara lisan memang berpotensi mengalami perubahan.
“Di dalam teori komunikasi ada istilah namanya distorsi pesan, itu yang dimaksud adalah setiap pesan yang diucapkan kemudian diucapkan kembali oleh orang berbeda terus menerus berantai, itu akan mengalami situasi distorsi, adalah pengaburan,” jelasnya.
Kendati demikian, perubahan yang terjadi biasanya tidak sampai mengubah substansi dari cerita itu sendiri. Meskipun terkadang ada penambahan atau ada unsur yang dilebih-lebihkan, menurutnya secara garis besar alur cerita masih akan sama dengan kisah aslinya.
“Misalnya saya ngomong kerangka cerita bersumber sejarah dari noorduyn. Ketika saya menceritakan secara ulang, itu substansinya tidak berubah, alurnya pun tidak berubah, tapi mungkin gaya ceritanya berubah. Ada saya panjangkan, tekankan, kan itu membuat satu ekspresi yang memberi penguatan komunikatif,” jelasnya.
Oleh karena itu, untuk menjaga orisinalitas cerita ini, Prof Muhlis menekankan pentingnya ada teks tertulis yang berisi sejarah asli untuk dijadikan standar.
“Kita perlu melahirkan satu teks yang standar, versi yang standar. Jadi perlu disusun satu literatur yang standar,” ujarnya.
“Kalau sebenarnya informasi yang lebih akurat, sebenarnya kita mengacu kepada teks tertulis. Teks tertulis itu apakah tadi seperti versi Belanda yang dikumpulkan oleh Belanda, atau versi dalam bentuk manuskrip dalam Lontara,” sambungnya.(2)
Menghadirkan teks tertulis mengenai cerita Datu Museng dan Maipa deapati yang dapat dijadikan standar tentunya penting dilakukan. Sebab terdapat banyak nilai moral dan sejarah yang dapat terus diwariskan kepada generasi mendatang.
Di balik cerita romansa dua sejoli tersebut, ada kisah perjuangan yang tak kalah mengagumkan dan patut dikenang masyarakat. Datu museng tak hanya sosok pria yang setia, tapi juga merupakan sosok pejuang Bugis-Makassar yang dikenal tangguh.
Sumber:
1. Buku Kisah Cinta Datu Museng & Maipa Deapati karya Zainuddin Tika, H. Mappaujung Maknun, Mas’ud Kasim, Hj. Rosdiana
2. Wawancara Dosen Sejarah Universitas Hasanuddin, Prof Muhlis Hadrawi