Hidup yang kita jalani adalah anugerah, bukan arena untuk saling mengalahkan. Setiap hari yang Tuhan berikan sejatinya adalah kesempatan untuk bertumbuh dalam kasih, bukan untuk terjebak dalam persaingan yang melelahkan.
Renungan hari ini mengingatkan kita bahwa hidup adalah perjalanan iman yang penuh kesempatan untuk berbuat baik, saling menolong, dan menebarkan kasih. Tuhan tidak memanggil kita untuk saling membandingkan atau bersaing, melainkan untuk menggunakan waktu, talenta, dan kesempatan yang ada sebagai sarana memuliakan-Nya.
Renungan hari Rabu, 17 September 2025 mengangkat tema “Belas Kasihan Tuhan” dikutip dari buku Bahasa Kasih oleh Romo Paulus C Siswantoko, Pr. Renungan ini juga dilengkapi daftar bacaan.
Yuk, disimak!
Berikut ayat Alkitab yang dapat dijadikan sebagai bahan renungan:
Semuanya itu kutuliskan kepadamu, walaupun kuharap segera dapat mengunjungi engkau.
Jadi jika aku terlambat, sudahlah engkau tahu bagaimana orang harus hidup sebagai keluarga Allah, yakni jemaat dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran.
Dan sesungguhnya agunglah rahasia ibadah kita: “Dia, yang telah menyatakan diri-Nya dalam rupa manusia, dibenarkan dalam Roh; yang menampakkan diri-Nya kepada malaikat-malaikat, diberitakan di antara bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah; yang dipercayai di dalam dunia, diangkat dalam kemuliaan.”
Haleluya! Aku mau bersyukur kepada TUHAN dengan segenap hati, dalam lingkungan orang-orang benar dan dalam jemaah.
Besar perbuatan-perbuatan TUHAN, layak diselidiki oleh semua orang yang menyukainya.
Agung dan bersemarak pekerjaan-Nya, dan keadilan-Nya tetap untuk selamanya.
Perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib dijadikan-Nya peringatan; TUHAN itu pengasih dan penyayang.
Diberikan-Nya rezeki kepada orang-orang yang takut akan Dia. Ia ingat untuk selama-lamanya akan perjanjian-Nya.
Kekuatan perbuatan-Nya diberitakan-Nya kepada umat-Nya, dengan memberikan kepada mereka milik pusaka bangsa-bangsa.
Kata Yesus: “Dengan apakah akan Kuumpamakan orang-orang dari angkatan ini dan dengan apakah mereka itu sama?
Mereka itu seumpama anak-anak yang duduk di pasar dan yang saling menyerukan: Kami meniup seruling bagimu, tetapi kamu tidak menari, kami menyanyikan kidung duka, tetapi kamu tidak menangis.
Karena Yohanes Pembaptis datang, ia tidak makan roti dan tidak minum anggur, dan kamu berkata: Ia kerasukan setan.
Kemudian Anak Manusia datang, Ia makan dan minum, dan kamu berkata: Lihatlah, Ia seorang pelahap dan peminum, sahabat pemungut cukai dan orang berdosa.
Tetapi hikmat dibenarkan oleh semua orang yang menerimanya.
Mereka itu seumpama anak-anak yang duduk di pasar dan yang saling menyerukan:
Kami meniup seruling bagimu, tetapi kamu tidak menari, kami menyanyikan kidung duka, tetapi kamu tidak menangis.
(Luk. 7:32)
Suatu sore saya dan suami ke bengkel. Di ruang tunggu lantai dua, seorang bapak terus memperhatikan saya.
Karena jengah, saya sapa bapak itu, lalu terjadilah obrolan panjang. Bapak ini seorang sopir Grab, juga freelancer driver di sebuah perusahaan besar.
Ia sudah berkeluarga dengan tiga anak masih kecil-kecil dan seorang pendoa syafaat di sebuah gereja Kristen kecil yang tidak terkenal. Dia menceritakan dengan penuh rasa syukur bagaimana Tuhan bekerja dalam hidupnya yang tidak mudah.
Mobil bapak pendoa ini selesai terlebih dahulu. Dia turun ke lantai satu, namun tak berapa lama dia naik kembali untuk menemui kami dan tanpa basa basi dia berkata, “Kalian harus saling menjaga diri, suami istri jangan suka bertengkar.
Sebagai pengikut Kristus, kita harus memakai hidup ini sebagai kesempatan untuk menampilkan wajah Kristus di tengah lingkungan kita.” Saya terdiam dan saat itu juga saya minta ampun dalam hati saya, jika selama ini kami masih bersikap seperti anak kecil.
Dalam Injil hari ini, Yesus mengumpamakan angkatan itu seperti anak-anak yang duduk di pasar, yang tidak pernah memikirkan hal-hal yang penting. Di sini ditunjukan sifat angkatan yang suka melawan melalui pertengkaran dan prasangka buruk terhadap Yohanes, maupun Yesus.
Jika diselidiki lebih jauh, pertengkaran ini timbul dari rasa takut. Mereka bersaing karena iri hati dan ingin menang sendiri.
Mereka takut kalah pamor sehingga berusaha menjatuhkan Yohanes dan Yesus dengan mencari-cari kesalahan, karena menganggap Yohanes dan Yesus adalah saingan mereka.
Mereka menjadikan hidup sebagai ajang persaingan, bukan sebagai kesempatan untuk memikirkan urusan jiwa mereka dengan sungguh-sungguh. Mereka berbuat seakan-akan Allah sedang bercanda dengan mereka, seperti anak-anak yang bercanda satu sama lain di pasar (Luk. 7:32).
Dengan kebodohannya mereka mengolok-olok jalan-jalan Allah, yang sesungguhnya dipakai-Nya untuk membawa kebaikan bagi mereka.
Mereka menolak semua jalan-Nya dengan bersenda gurau dan menganggapnya tidak lebih dari sekadar ajang pertunjukan dengan mereka pemeran utamanya.
Masihkah kita bercanda dengan hidup kita?
Doa:
Bapa yang penuh kasih, ampuni kami jika kami masih seperti anak kecil yang bermain-main di pasar. Kami mohon Roh Kudus mendewasakan kami, agar tindakan dan perbuatan kami sungguh menampilkan wajah Kristus di tengah lingkungan kami. Amin.
Robertus Bellarminus lahir di Montepulciano, dekat Siena, Italia pada tanggal 4 Oktober 1542. Oleh ibunya, adik Sri Paus Marsellus II, Robertus memperoleh pendidikan dasar yang sangat baik.
Di kolese Yesuit setempat, Robertus terkenal cerdas dan ramah. Semua guru dan kawannya senang padanya.
Ia senang berorganisasi dan menghimpun kawan-kawannya untuk mendiskusikan berbagai persoalan penting. Sastera Latin sangat digemarinya sehingga kadang-kadang ia semalaman sibuk mengarang dan membaca.
Ayahnya menginginkan dia menjadi dokter agar kelak dapat merawat para raja dan pangeran. Semua angan-angan ayahnya seolah sirna seketika pada waktu dia menyatakan keinginannya untuk menjalani hidup membiara dalam Serikat Yesus.
Dengan tegas ayahnya menolak cita-citanya itu. Sebaliknya ibunya sangat mendukung bahkan menghendaki agar kelima anaknya menjadi imam dalam Serikat Yesus.
Dengan berbagai cara ayahnya menghalangi dia. Robertus tetap tenang menghadapi ayahnya.
“Aku rasa, tugas seorang imam pun tidak jauh berbeda dengan tugas seorang dokter. Bukankah banyak orang membutuhkan pertolongan seorang imam? Lihat! Betapa banyak orang yang terlantar jiwanya karena kekurangan imam,” demikian kata-kata Robert kepada ayahnya.
“Baiklah Robert, kalau itulah yang kaukehendaki. Ayah tidak bisa menghalang-halangi kehendak Tuhan atas dirimu,” jawab ayahnya.
Pada tanggal 19 September 1560, Robertus meninggalkan Montepulciano menuju Roma. Ketika itu ia berumur 18 tahun.
Setibanya di Roma, ia menghadapi Pater Laynez, Jenderal Serikat Yesus masa itu. Pater Laynez menerima dia dengan senang hati dalam pangkuan Serikat Yesus.
Ia diizinkan menjalani masa novisiat bersama rekan-rekannya yang lain. Masa novisiat ini dipersingkat karena kepintaran dan kepribadiannya yang mengesankan.
Ia lalu disuruh belajar Filsafat di Collegium Romanum di Roma selama tiga tahun, dan belajar Teologi di Universitas Padua selama dua tahun.
Karya imamatnya dimulai dengan mengajar Teologi di Universitas Louvain, Belgia. Di sini ia meningkatkan pengajaran bahasa Hibrani dan mempersiapkan perbaikan terjemahan Alkitab Vulgata.
Dari Universitas ini pula, ia melancarkan perlawanan gencar terhadap ajaran Protestan dengan menerbitkan bukunya berjudul “Disputationes.” Dari Louvain, Pater Robertus dipindahkan ke Collegium Romanum, alma maternya dahulu.
Di sana ia diangkat menjadi pembimbing rohani, rektor sekaligus Provinsial Yesuit. Di kalangan istana kePausan, Robertus dikenal sebagai penolong dalam memecahkan berbagai persoalan iman dan soal-soal lain yang menyangkut keselamatan umum.
Ia juga biasa dimintai nasehatnya oleh Sri Paus dan dipercayakan menangani perkara-perkara Gereja yang penting. Menyaksikan semua prestasinya, Sri Paus Klemens VIII (1592-1605) mengangkatnya menjadi Kardinal pada tahun 1599 dan tak lama kemudian ia ditahbiskan menjadi Uskup Capua.
Tugas baru ini dilaksanakannya dengan mengadakan kunjungan ke semua paroki yang ada di dalam keuskupannya. Tugas sebagai mahaguru ditinggalkannya.
Masa kerja di Capua tidak terlalu lama, karena dipanggil oleh Paus Paulus V (1605-1621) ke Roma untuk menangani beberapa tugas yang penting bagi Gereja. Di sana ia mulai kembali menekuni kegemarannya menulis buku-buku, rohani.
Tahun-tahun terakhir hidupnya diisinya dengan menulis tafsiran Kitab Mazmur dan ‘Ketujuh Sabda Terakhir Yesus sebelum wafat di kayu salib. Dua buku katekismus yang dikarangnya sangat laris dan beredar luas di kalangan umat sebagai bahan pengajaran bagi para katekumen.
Buku terakhir yang ditulisnya ialah ‘Ars Moriendi’ yang melukiskan persiapannya menghadapi kematiannya yang sudah dekat. Buku ini ditulis pada saat-saat terakhir hidupnya di novisiat St. Andreas di Roma.
Setelah membaktikan seluruh dirinya demi kepentingan Gereja, Robertus Bellarminus menghembuskan nafasnya terakhir pada tanggal 17 September 1621 di novisiat St. Andreas, Roma. Beliau dikenal luas sebagai seorang ahli teologi yang sangat gigih membela Gereja dan jabatan kePausan dalam kemelut zaman Reformasi Protestan.
Ia hidup sederhana dan suci serta mempunyai pengaruh yang sangat besar. Ia dinyatakan sebagai ‘Beato’ oleh Paus Pius XI (1922-1939) pada tanggal13 Mei 1923, dan sebagai ‘Santo’ pada tanggal 29 Juni 1930, lalu sebagai ‘Pujangga Gereja’ pada tanggal 17 September 1931.
Demikian renungan harian Katolik Rabu, 17 September 2025 dengan bacaannya. Semoga Allah melindungi kita.