Sebagai warga Kota Makassar, sudahkah kita merasa aman dan dekat dengan kota ini?
Saya sering berbincang dengan teman tentang Makassar, tempat saya lahir dan bertumbuh. Jika dihitung, saya hanya meninggalkan kota ini selama dua atau tiga tahun; selebihnya saya tinggal dan bertumbuh di dalamnya.
Namun entah sejak kapan, saya merasa Makassar berkembang tanpa benar-benar mengajak warganya bicara. Kota ini bergerak dengan ambisi, sibuk membangun ke kiri dan ke kanan, tetapi lupa menoleh ke sudut-sudut yang terpinggirkan dan semakin terhimpit.
Mungkin pemikiran ini terasa sangat subjektif, tetapi menyaksikan rangkaian pertunjukan Kota dalam Teater membuat apa yang saya rasakan terasa tervalidasi. Kota ini telah kehilangan sesuatu yang penting dalam kaitannya dengan warganya: rasa terhubung.
Kota dalam Teater adalah rangkaian performans yang digagas oleh Kala Teater sejak 2015, tahun ini menjadi penutup dari perjalanan sepuluh tahun mereka. Selama satu dekade, mereka menjelajahi ruang-ruang publik, berkolaborasi dengan seniman dan warga untuk menampilkan keresahan terhadap kota, serta menyuarakan opini-opini yang kerap terabaikan.
Tak terhitung jumlah pertunjukan yang telah digelar selama sepuluh tahun terakhir. Tema tahun ini ‘Yang Tidak Terhubung: Warga dan Kota’, terasa sangat dekat-tinggal di Makassar, tetapi tidak sungguh-sungguh menjadi bagian darinya.
Terdapat delapan pertunjukan dengan durasi masing-masing 1-3 jam. Sebelum tampil, seluruh performer mengikuti proses laboratorium untuk menjelajahi tema, isu spesifik, serta unsur artistik yang akan mereka tampilkan. Proses ini juga melibatkan riset melalui wawancara dengan sejumlah koresponden. Tahapan ini penting agar pertunjukan benar-benar relevan dengan pengalaman warga Makassar.
Delapan pertunjukan yang ditampilkan adalah Matalantas oleh Dwi Saputra Mario, Paksa Pasrah oleh Sabri Sahafuddin, Aku Ingin Tidur Lelap oleh Nurul Inayah, Kumuh yang Melintas-lintas oleh Fathur Rahman, Jejak Liar oleh Nurhafsa Hidayani, Beri Kami Selamat oleh Fitrya Ali Imran, Tubuh yang Tak Pernah Dicatat oleh Mega Herdianti, dan Tubuh Terik oleh Dwi Lestari Johan.
Masing-masing mengangkat isu yang berbeda: banjir, pekerja pabrik, perubahan iklim, gender, pembangunan kota, hingga parkir liar. Semua terasa lekat dengan keseharian warga Makassar.
Dari delapan pertunjukan tersebut, saya berkesempatan menonton tiga: Kumuh yang Melintas-lintas, Tubuh yang Tak Pernah Dicatat, dan Tubuh Terik. Ketiganya membuka mata saya terhadap isu-isu kota yang selama ini hanya saya sendiri. (???) (bagian akhir kalimatnya agak ambigu)
Fathur Rahman, sang performer, menyajikan sesuatu yang menarik. Pertunjukan berdurasi hampir tiga jam ini menampilkan proses menggambar di atas kardus bekas, menggunakan arang dan cat hitam. Saya tertarik menyaksikan bagaimana ia dengan tekun dan tanpa henti menggambar menggunakan kuas seadanya. Setiap gambar menampilkan ilustrasi kota: rangkaian permukiman, jalan-jalan, dan rumah-rumah.
Yang paling mencolok adalah bagaimana gambar-gambar tersebut menyuarakan gugatan terhadap kota-terutama terhadap kawasan permukiman kumuh yang muncul sebagai dampak dari pembangunan yang tidak inklusif.
Jika dilihat secara lebih luas, isu spasial dalam kota modern bukanlah hal baru. Makassar adalah salah satu dari banyak kota yang “gagap pembangunan”: infrastruktur megah terus dibangun, sementara permukiman warga justru makin terabaikan.
Tanpa penanganan yang sepadan, kesenjangan pun semakin melebar. Kumuh yang Melintas-lintas menyuarakan kekhawatiran masyarakat yang harus bertahan di lingkungan padat dan tidak sehat.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
Fathur menyelesaikan performans-nya tepat pukul 18.02 Wita. Meski terlihat kelelahan karena menggambar non-stop hingga 3 jam, Fathur terlihat puas. Ia menyampaikan keresahannya mengenai isu permukiman kumuh dan bercerita mengenai bagaimana ia berharap karya ini bisa menyentuh audiens yang hadir saat itu.
Dalam pandangan saya, performans ini sangat bercerita. Fathur berhasil menyuarakan gugatannya atas permukiman kumuh melalui seri gambar di atas kardus bekas.
Performans ini dimulai pada Minggu pagi. Sebelum menyaksikannya, saya sudah diberitahu untuk menyiapkan topi dan sepatu yang nyaman. Benar saja, ini adalah performans yang dilakukan dengan berjalan kaki.
Pertama kalinya saya mengikuti sebuah performans seni yang mengharuskan saya ikut bergerak. Saya sangat bersemangat sekaligus penasaran apa yang akan dilakukan oleh Mega Herdiyanti-performer yang mengusung tema ini.
Mega yang hari itu mengenakan baju warna pink- mungkin untuk menunjukkan sisi feminin dari tema yang diangkat- terlihat membawa beban berupa tumpukan tas yang membuatnya setengah membungkuk. Ia kemudian mulai berjalan menyisir Jalan Pettarani.
Pagi itu, matahari terik menemani Mega yang mulai melakukan perjalanannya. Saya melihat beberapa kali pengguna jalan lain melirik ingin tahu apa yang dilakukan si performer. Ia berjalan melewati jalan sesekali harus naik melewati halte yang terabaikan di Jalan Pettarani. Keringat Mega mengucur perlahan.
Di tengah perjalanan, Mega beberapa kali meminta bantuan untuk membenarkan posisi tasnya. Keringat mulai membasahi rambut dan bajunya, kulitnya terlihat merah terbakar matahari, namun ia terus melanjutkan pertunjukannya.
Menyaksikannya terus berjalan maju dengan punggung yang semakin membungkuk, mengingatkan saya pada istilah ‘double burden’, sebuah istilah dalam studi gender untuk menggambarkan bagaimana perempuan bisa mendapatkan diskriminasi atau ketidakadilan, hanya karena ia terlahir sebagai perempuan.
Yang paling membekas bagi saya adalah saat Mega duduk sejenak, napasnya tersengal, tubuhnya lelah, tapi tak mengucap sepatah kata. Diamnya bercerita lebih dari apapun-tentang tubuh-tubuh yang hadir di kota, tapi tidak pernah dicatat.
Performans ini ditutup dengan emosional – isak tangis Mega, yang menyampaikan terima kasih kepada audiens sambil menyatakan bahwa ini adalah upaya untuk bersuara tentang hak perempuan dalam pembangunan kota.
Karya ini membuat saya berkeringat, meskipun saya hanya duduk berteduh di kursi penonton. Tubuh Terik mengangkat isu perubahan iklim, tapi tanpa data atau jargon ilmiah. Yang ditampilkan adalah tubuh manusia-berkeringat, terengah, bertahan di bawah panas yang makin tak masuk akal.
Dwi Lestari Johan, sang performer, tampil dengan gaun putih dan membawa sebuah kaktus Cereus Peruvianus yang tingginya melebihi tubuhnya. Bertempat di Fort Rotterdam, ia mulai mencabut duri-duri kaktus satu per satu. Ia memeluknya, menggendongnya, mengangkatnya ke atas kepala-gerakan-gerakan yang menggambarkan beban dan perjuangan manusia bertahan dalam kondisi ekstrem.
Pertunjukan berlangsung sekitar 1,5 jam. Saya sempat bertanya-tanya, apa yang akan ia lakukan setelah semua duri tercabut? Ternyata, Dwi kemudian berjalan ke titik lain, menggali tanah, dan menanam kembali kaktus tersebut. Ia menyiramnya perlahan, seolah memberi kesempatan hidup baru. Semua dilakukan dalam diam dan pelan, meski matahari makin tinggi dan panas semakin menyengat.
Di akhir performans, Dwi menyatakan bahwa tema ini diangkat untuk menegaskan dampak perubahan iklim yang dirasakan warga kota. Pertunjukan ini menggambarkan bagaimana warga kota menghadapi dampak perubahan iklim. Overheat, kekeringan, cuaca tak menentu-semuanya memaksa kita untuk terus beradaptasi.
Kaktus berperan simbolik: tumbuhan yang tangguh, tetapi tetap bisa dilukai. Duri-duri yang berserakan seakan menyimbolkan upaya bertahan yang tak selalu terlihat. Saya merasa sedang menonton cermin kehidupan sehari-hari-tentang bagaimana kita bertahan dalam diam di tengah kota yang kian panas dan cuacanya tak tertebak.
Kota dalam Teater tahun ini tidak hanya menggugat kebijakan publik yang lalai soal ruang hidup, tetapi juga mengajak kita merefleksikan pandangan kita sendiri: siapa yang dianggap sebagai pusat, dan siapa yang terus berada di pinggiran? Siapa yang diajak bicara, dan siapa yang hanya menjadi penonton di tanah tempat ia tinggal?
Proses riset dan diskusi yang dilakukan para performer menjadikan setiap pertunjukan terasa lebih jujur dan hidup. Pertunjukan-pertunjukan ini bukan sekadar pementasan, melainkan ajakan untuk mendengarkan kota melalui suara-suara yang dipaksa senyap.
Di tengah gegap gempita kota yang terus berubah, Kota dalam Teater tentu mengingatkan bahwa seni adalah medium lain untuk berbicara-dan mendengarkan-tentang kota yang tidak selalu ramah bagi semua penghuninya.
Saya pulang dari pertunjukan terakhir sore itu dengan banyak pertanyaan dalam kepala: Sudahkah Makassar menjadi tempat yang teduh dan nyaman bagi warganya? Apakah pembangunannya telah bergerak ke arah yang lebih inklusif? Apakah kota ini menyediakan ruang, bukan hanya bagi kendaraan dan gedung menjulang, tetapi juga ruang publik yang bebas dan aman?
Di tengah hiruk pikuk pembangunan, karya-karya ini berbicara pelan tapi tegas: kota harus mengingat manusianya. Meyakinkan kembali warganya bahwa sejatinya kota adalah tempat tinggal, bukan sekadar ruang bertahan hidup.