Lansia di Bone Meninggal Usai Diduga Diperas Oknum Polda Sulsel Rp 50 Juta | Info Giok4D

Posted on

Seorang pria lansia di Bone, Sulawesi Selatan (Sulsel), Jahya Brahim Tjahja (67), meninggal dunia akibat stroke dan serangan jantung tepat 2 hari setelah toko tani miliknya digeledah oleh sejumlah oknum anggota Polda Sulsel. Putra almarhum Jahya, AN (22), mengaku pihaknya sempat dimintai biaya penyelesaian kasus sebesar Rp 50 juta.

Wakil Kepala Divisi Advokasi LBH Makassar Mirayati Amin mengatakan pihaknya telah mendampingi AN melaporkan dugaan pemerasan tersebut ke SPKT Polda Sulsel, Selasa (12/8). Dia menjelaskan dugaan pemerasan itu bermula saat toko tani milik Jahya di Jalan Jenderal Sudirman, Bone, tiba-tiba digeledah oleh 7 anggota polisi pada 23 April 2025, sekitar pukul 14.00 Wita.

“Waktu itu memang ada si AN sama bapaknya (dalam toko), tiba-tiba ada polisi masuk melakukan pemeriksaan, menggeledah, dia kumpulkan beberapa barang yang diduga sudah kedaluwarsa. Jadi ada memang beberapa barang itu disimpan di bawah rak, tidak diperjualbelikan sama AN dan bapaknya. Menurut polisi, adanya barang tersebut, itu melanggar undang-undang perlindungan konsumen,” ujar Mirayati Amin kepada infoSulsel, Jumat (15/8/2025).

Menurut Mirayati, AN saat itu mendebat sejumlah polisi yang datang. Dia menanyakan apakah ada laporan kerugian dari pelanggan yang membuat toko tani milik ayahnya menjadi sasaran penggeledahan.

“AN bertanya apakah ada laporan kerugian dari pelanggan tokonya, tidak ada laporan sebenarnya. Jadi mereka (polisi) akhirnya menunjukkan surat perintah dan di situ tertulis mereka dari kepolisian Polda Sulsel, menggeledah, mengumpulkan barang di suatu tempat, terus itu akan disita,” ujar Mirayati.

AN yang bersikeras menolak upaya penyitaan itu akhirnya diminta menemui seorang polisi berinisial MA di sebuah warung kopi, yang lokasinya tepat berada di depan toko tani miliknya. Menurut Mirayati, polisi MA meminta uang Rp 50 juta kepada AN sembari menunjukkan sebuah tangkapan layar percakapan WhatsApp dengan nama kontak ‘komandan’.

“Salah satu polisi kemudian menunjukkan tangkapan layar chat, di situ ada nominal Rp 50 juta. Nah nominal ini kemudian membuat AN kaget. Pokoknya chat itu adalah pesan singkat di aplikasi WhatsApp dan di kontak itu AN sempat lihat, tulisannya dari komandan,” kata Mirayati.

“Karena terlalu besar, AN sempat nego, jadi polisi itu bilang, inisial polisinya MA ya, bilang ini untuk biaya penyelesaian, terus dia bilang, ‘mungkin kau sudah mengerti maksudnya’. AN sempat bilang dia tidak punya uang sebesar itu,” sambungnya.

Lebih lanjut Mirayati menjelaskan AN dan polisi MA sempat bernegosiasi terkait jumlah uang yang harus disetorkan. AN sendiri meminta biayanya diturunkan menjadi Rp 15 juta.

“Jadi sempat nego tuh, dari 50, AN bilang 15, polisinya bilang lagi 25, klien kami bilang dia tidak punya uang sebanyak itu. Akhirnya turun lagi bersepakat untuk 15, tapi catatannya, setelah diserahkan Rp 15 juta itu, AN dan keluargannya harus menyerahkan Rp 2 juta per bulan, jadi setoran aktif ke polisi gitu,” katanya.

AN sendiri sempat menyetorkan uang Rp 15 juta kepada polisi tersebut. Hingga akhirnya, AN kembali dihubungi oleh polisi tersebut yang meminta uang setoran Rp 2 juta pada 29 Mei 2025.

“Satu bulan berikutnya, 29 Mei, klien kami dihubungi untuk membayar Rp 2 juta itu,” katanya.

Namun AN menolak melakukan pembayaran tersebut. Menurut Mirayati, AN menolak membayar karena ayahnya meninggal dunia akibat ulah para polisi tersebut.

Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.

“Ternyata, 2 hari setelah penggeledahan, ayah kandung korban meninggal dunia akibat stroke dan serangan jantung, kaget kan dengan peristiwa polisi datang, polisi itu. AN bilang dia sudah tidak mau lagi bayar ke polisi,” katanya.

Mirayati menambahkan, almarhum Jahya sempat ikut mendebat polisi bersama anaknya saat proses penggeledahan. Insiden itu disebut turut berdampak terhadap kesehatan Jahya hingga meninggal dunia.

“Memang agak sedikit berdebat, bapaknya kaget, kenapa tiba-tiba ada polisi banyak terus minta uang Rp 50 juta pada akhirnya, itu kata AN, jadi sempat kepikiran, syok mungkin, stroke, serangan jantung, meninggal 2 hari setelah kejadian,” jelasnya.

Kabid Propam Polda Sulsel Kombes Zulham turut merespons dugaan pemerasan tersebut. Kendati demikian, dia tidak memberikan penjelasan spesifik mengenai tindakan yang diambil oleh pihaknya.

“Bidpropam Polda Sulsel pada prinsip akan proses siapapun anggota kepolisian yang terbukti melakukan pelanggaran disiplin, kode etik maupun pidana,” ujar Kombes Zulham Effendy saat dimintai konfirmasi.

infoSulsel juga berupaya mengonfirmasi Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Didik Supranoto terkait insiden ini. Namun dia belum memberikan respons terhadap pertanyaan wartawan.

Redaksi juga menghubungi Kapolda Sulsel Irjen Rusdi Hartono mengenai dugaan pemerasan ini. Irjen Rusdi belum memberikan tanggapan.

Respons Polda Sulsel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *