RSUD Labuang Baji, Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), menjadi sorotan usai stok obatnya sempat mengalami kekosongan. Pihak rumah sakit berkilah kekosongan terjadi karena masih menyesuaikan dalam sistem pengadaan obat yang baru.
Sejumlah anggota Komisi E DPRD Sulsel pun melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke RSUD Labuang Baji atas masalah kekosongan obat yang dikeluhkan masyarakat pada Rabu (28/5/2025) sekitar pukul 11.00 Wita. Anggota Komisi E yang ikut sidak yakni Fadli Ananda, Musakkar, A Patarai Amir, Asman, Mahmud, dan Yeni Rahman.
Dalam sidak tersebut, anggota Komisi E sempat berdebat dengan pihak RSUD Labuang Baji. Debat bermula ketika Mahmud yang diterima Direktur RSUD Labuang Baji Rachmawati menyebut temuan di lapangan membuktikan masalah terdapat pada pengadaan obat.
Menurut Mahmud, ada masa transisi dari sistem lama ke sistem baru yang menjadi pemicu kekosongan obat terjadi. Sebab, kini pengadaan obat dikendalikan oleh Biro Barang dan Jasa (Barjas) Setda Sulsel.
“Ada berita Labuang Baji tidak menerima pasien karena stok obat habis. Ternyata diakui memang ada proses, ada stok yang tidak ada pada saat transisi. Waktu pengalihan dari barjas internal ke barjas provinsi,” ujar Mahmud.
Mahmud mengatakan RSUD Labuang Baji menjadi contoh kasus yang bisa mewakili persoalan layanan di rumah sakit provinsi lainnya. Dia menekankan agar pelayanan kepada masyarakat tidak terganggu meski ada perubahan sistem.
“Kita menginginkan supaya bagus pelayanan masyarakat. Kita uji coba tadi satu pasien, menunggu obat, ternyata memang ada obatnya. Walaupun itu vitamin saja,” katanya.
Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.
Direktur RSUD Labuang Baji Rachmawati lantas merespons hal tersebut. Dia menjelaskan bahwa kekosongan obat yang sempat terjadi bukan disebabkan kelalaian tunggal. Dia mengklaim pihaknya masih beradaptasi pada sistem baru pengadaan obat.
“Kenapa tidak menjadikan keluhan karena saya tetap optimis bahwa pola baru ini,” ucapnya.
Namun, Mahmud menilai alasan tersebut tidak bisa dijadikan pembenaran. Dia mengkritik perencanaan pengadaan obat yang dinilai tidak matang.
“Optimis itu tidak boleh dianukan dengan pelayanan, Bu. Pelayanan itu harus ada. Optimis itu masih khayalan. Contoh tadi, apakah 14 hari sudah ditunda sudah ada obat? Ternyata belum. Kita optimis 14 hari ada, tapi faktanya tidak ada,” timpalnya.
Rachmawati kemudian menepis adanya informasi kekosongan obat menyebabkan operasi di rumah sakit terhenti. Dia menegaskan pelayanan tetap berjalan meski sempat terjadi kendala distribusi obat.
“Bahasa bahwa obat habis operasi itu tidak dilaksanakan itu tidak betul. Ada kekurangan distribusi obat. Pola baru ini tidak sepenuhnya kesalahannya di Biro Barang dan Jasa, tapi barjas internal kami juga yang masih berusaha lebih maksimal lagi dibanding sebelumnya,” paparnya.
Mahmud kembali menimpali bahwa kekosongan stok seharusnya bisa diantisipasi sejak awal. Terutama, kata dia, saat proses transisi berlangsung.
“Perencanaannya mungkin yang keliru. Harusnya, kan, ada stok saat transisi. Ternyata itu tidak ada. Itu yang terjadi. Kenapa? Karena mungkin dari pihak ketiga yang belum mengirimkan,” terangnya.
Terpisah, Kepala Bidang Farmasi dan Peralatan Medis RSUD Labuang Baji, Salman menuturkan kekosongan yang sempat terjadi yakni pada obat-obatan rawat jalan. Adapun obat-obat untuk keadaan gawat darurat atau emergency, pihaknya memastikan hal itu menjadi prioritas utama agar tidak sampai kosong.
“Obat-obat emergency itu menjadi perhatian. Obat emergency itu yang selalu kita prioritas supaya tidak boleh kosong. Itu yang selama ini kita antisipasi. Walaupun yang lain ada kekosongan, obat-obatan rawat jalan itu, kami biasanya lakukan upaya-upaya peminjaman ke apotek atau rumah sakit,” terangnya.
Salman mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang memicu kekosongan obat belakangan ini adalah adanya perubahan sistem dalam proses pengadaan melalui e-purchasing. Saat ini, pengelolaan pengadaan obat sudah dialihkan ke Biro Barang dan Jasa (Barjas) Setda Sulsel.
“Sebelumnya di sini diproses, semuanya di sini, sehingga komunikasi kita lancar. Ada sesuatu yang kurang langsung bisa ditangani hari itu juga. Semuanya ada di lingkungan kita, di rumah sakit. Sekarang ini, kan, prosesnya di sana (Biro Barjas Setda Sulsel),” paparnya.
Perubahan sistem tersebut, lanjut Salman, membuat koordinasi tidak secepat sebelumnya. Bila ada kebutuhan mendesak, pihak rumah sakit tak bisa langsung menindaklanjuti karena harus menunggu proses dari luar rumah sakit.
“Kita namanya human, manusia, yang operasional kita tidak tahu ada kesibukan lain. Mereka mesti meng-cover seluruh rumah sakit. Yang ada di tujuh rumah sakit provinsi. Nah, mungkin itu yang kita butuh penyesuaian,” tambahnya.
RSUD nilai kekosongan obat lumrah di halaman selanjutnya.
Salman juga menyebut kondisi kekosongan oabt itu tidak bisa dihindari dan merupakan fenomena umum yang juga terjadi di fasilitas kesehatan lain. Menurut Salman, kekosongan obat bukan hal baru di dunia rumah sakit.
“Kekosongan sebenarnya itu, kan, fenomena terjadi di seluruh rumah sakit yang tidak bisa kita hindari,” katanya.
Namun, pihaknya mengaku selalu berupaya melakukan antisipasi agar pelayanan tetap berjalan. Salah satu langkah yang diambil adalah menjalin kerja sama dengan apotek dan rumah sakit lain.
“Jadi, kalau ada obat kosong, kami pinjam dulu untuk dilayani pasiennya. Kemudian nanti kami akan menggantikan dengan obat yang sama,” terang Salman.
“Kami juga kerja sama dengan rumah sakit dalam upaya untuk mendukung itu supaya kekosongan itu tidak berlangsung lama sehingga kami bisa tangani semua masalah-masalah itu. Prinsip kami adalah kekosongan obat itu adalah sesuatu yang tidak bisa kami hindari,” bebernya.