Tahun Baru Masehi merupakan salah satu momen yang banyak dinantikan oleh masyarakat, termasuk umat Islam. Namun, banyak juga yang menanyakan hukum merayakan Tahun Baru Masehi dalam Islam.
Hal ini wajar, sebab perayaan tahun baru tidak ada dalam Islam. Sementara itu, banyak umat Islam yang merayakan momen tersebut dengan meriah, mulai dari pesta kembang api hingga meniup terompet.
Lantas, bagaimanakah hukum merayakan Tahun Baru Masehi dalam Islam? Yuk simak penjelasan lengkapnya di bawah ini!
Terkait hukum merayakan Tahun Baru Masehi, terdapat 2 pendapat yang berbeda. Ada yang membolehkan namun ada juga yang melarang. Berikut ini penjelasannya masing-masing.
Perayaan tahun baru identik dengan meniup terompet, membunyikan lonceng, menyulut kembang api, dan berdoa pada info-info pergantian tahun. Melansir dari laman Muhammadiyah Kota Semarang, perayaan tersebut merupakan tradisi kaum Yahudi dan Nasrani.
Bahkan tidak ada satupun dari aktivitas tersebut yang bersumber dari ajaran Islam. Oleh karena itu, merayakan tahun baru dinilai sebagai suatu perbuatan yang meniru tradisi non-muslim atau tasyabbuh.
Rasulullah SAW bahkan telah memberikan peringatan keras kepada umat Islam untuk tidak meniru kaum Yahudi dan Nasrani. Berikut peringatan dari Rasulullah SAW:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
Artinya: Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kalian pasti akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta hingga seandainya mereka menempuh (masuk) ke dalam lubang biawak kalian pasti akan mengikutinya.” Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah yang baginda maksud Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi (kalau bukan mereka).” (HR. Bukhari & Muslim).
Hal ini juga senada dengan penjelasan Ustaz Khalid Basalamah melalui akun Youtube Podcast Dakwah Sunnah yang menyebutkan bahwa Islam tidak memperkenankan untuk merayakan Tahun Baru Masehi. Ia menegaskan bahwa mengikuti perayaan tahun baru dapat merusak akidah seorang muslim sebagaimana dijelaskan dalam surat Al Kafirun.
Ustaz Khalid juga menilai bahwa perayaan tahun baru termasuk mubazir karena membuat uang dan waktu dengan begadang semalam. Selain itu, ia juga menyebut bahwa kebiasaan seperti meniup terompet, teriak-teriak, berkumpul antara yang bukan mahram, melakukan zina, pesta, diskotik, dan mabuk-mabukan pada perayaan tahun baru akan merusak akhlak seseorang.
“Akhlaknya juga rusak, hilang sholat malam, hilang sholat subuh berjamaah di masjid. Kalau ada meninggal malam ini, apakah anda siap bertanggung jawab di hari kiamat nanti? Menyesal teman-teman, penyesalan selalu datang terakhir,” jelas Ustaz Khalid yang dikutip infoSulsel, Rabu (31/12/2025).
Di samping itu, terdapat juga pandangan yang membolehkan umat Islam untuk merayakan tahun baru, selama perayaan tersebut tidak diisi dengan kemaksiatan, seperti balap liar, tawuran, pacaran, dan lain sebagainya. Melansir dari NU Online, hal ini sejalan dengan pernyataan Guru Besar Al-Azhar Asy-Syarif serta Mufti Agung Mesir Syekh Athiyyah Shaqr (wafat 2006 M) yang tertuang dalam fatwa ulama Al-Azhar sebagai berikut:
وَقَيْصَرُ رُوْسِيَا “الإِسْكَنْدَرُ الثَّالِثُ” كَلَّفَ الصَّائِغَ “كَارِلْ فَابْرَج” بِصَنَاعَةِ بَيْضَةٍ لِزَوْجَتِهِ 1884 م، اسْتَمَرَّ فِي صُنْعِهَا سِتَّةَ أَشْهُرٍ كَانَتْ مَحِلَّاةً بِالْعَقِيْقِ وَالْيَاقُوْتِ، وَبَيَاضُهَا مِنَ الْفِضَّةِ وَصِفَارُهَا مِنَ الذَّهَبِ، وَفِى كُلِّ عَامٍ يَهْدِيْهَا مِثْلَهَا حَتَّى أَبْطَلَتْهَا الثَّوْرَةُ الشُّيُوْعِيَّةُ 1917 م. وَبَعْدُ، فَهَذَا هُوَ عِيْدُ شَمِّ النَّسِيْمِ الَّذِي كَانَ قَوْمِيًّا ثُمَّ صَارَ دِيْنِيًّا فَمَا حُكْمُ احْتِفَالِ الْمُسْلِمِيْنَ بِهِ؟ لَا شَكَّ أَنَّ التَّمَتُّعَ بِمُبَاهِجِ الْحَيَاةِ مِنْ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَتَنَزُّهٍ أَمْرٌ مُبَاحٌ مَا دَامَ فِى الْإِطَارِ الْمَشْرُوْعِ الَّذِي لَا تُرْتَكَبُ فِيْهِ مَعْصِيَّةٌ وَلَا تُنْتَهَكُ حُرْمَةٌ وَلَا يَنْبَعِثُ مِنْ عَقِيْدَةٍ فَاسِدَةٍ
Artinya: “Kaisar Rusia, Alexander III pernah mengutus seorang tukang emas ‘Karl Fabraj’ guna membuat topi baja untuk istrinya pada tahun 1884 M. Proses pembuatannya berlangsung selama 6 bulan. Topi itu ditempeli batu akik dan permata. Warna putihnya dari perak dan warna kuningnya dari emas. Di setiap tahunnya ia menghadiahkan topi serupa kepada istrinya hingga kemudian istrinya ditumbangkan oleh pemberontakan kelompok komunisme pada tahun 1917 M. Mulanya acara ini merupakan suatu perayaan ‘Sham Ennesim’ (Festival nasional Mesir yang menandai dimulainya musim semi) yang merupakan tradisi lokal Mesir lantas berubah menjadi tradisi keagamaan. Lalu bagaimanakah hukum memperingati dan merayakannya bagi seorang muslim?
Terdapat juga fatwa yang dirilis oleh Mufti Agung Mesir, ulama pakar hadits terkemuka asal Haramain, Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki (wafat 2004 M) yang senada dengan penjelasan di atas. Dalam kitabnya ia menegaskan:
جَرَتْ عَادَاتُنَا أَنْ نَجْتَمِعَ لإِحْيَاءِ جُمْلَةٍ مِنَ الْمُنَاسَبَاتِ التَّارِيْخِيَّةِ كَالْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ وَذِكْرَى الْإِسْرَاءِ وَالْمِعْرَاجِ وَلَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَالْهِجْرَةِ النَّبَوِيَّةِ وَذِكْرَى نُزُوْلِ الْقُرْآنِ وَذِكْرَى غَزْوَةِ بَدْرٍ وَفِى اعْتِبَارِنَا أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ عَادِيٌّ لَا صِلَةَ لَهُ بِالدِّيْنِ فَلَا يُوْصَفُ بِأَنَّهُ مَشْرُوْعٌ أَوْ سُنَّةٌ كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ مُعَارِضًا لِأَصْلٍ مِنْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ لأَنَّ الْخَطَرَ هُوَ فِى اعْتِقَادِ مَشْرُوْعِيَّةِ شَيْءٍ لَيْسَ بِمَشْرُوْعٍ
Artinya: “Sudah menjadi tradisi bagi kita berkumpul untuk menghidupkan berbagai momentum bersejarah, seperti halnya maulid nabi, peringatan isra mi’raj, malam nishfu sya’ban, tahun baru hijriyah, nuzulul qur’an dan peringatan perang Badar. Menurut pandanganku, peringatan-peringatan seperti ini merupakan bagian daripada tradisi, yang tidak terdapat korelasinya dengan agama, sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang disyariatkan ataupun disunahkan. Kendati demikian, juga tidak berseberangan dengan dasar-dasar agama, sebab yang justru mengkhawatirkan ialah timbulnya keyakinan terhadap disyariatkannya sesuatu yang tidak disyariatkan.” [Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahihah, [Surabaya: As-Shafwah Al-Malikiyyah], halaman 337-338.
Penjelasan ini menjadi dasar fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa merayakan atau mengucapkan selamat tahun baru tidak dilarang dalam Islam. Disadur dari akun Instagram Bimas Islam, MUI menyebutkan bahwa merayakan tahun baru dengan makan, minum, dan bersosialisasi hukumnya boleh selama tidak mengandung unsur maksiat.
MUI juga mengimbau agar perayaan tahun baru dilakukan secara sederhana, tidak berlebihan, dan tidak mengganggu kenyamanan orang lain.
Demikianlah penjelasan mengenai hukum merayakan Tahun Baru Masehi dalam Islam. Semoga membantu!







