Hari Pahlawan menjadi salah satu momen penting bagi bangsa Indonesia untuk mengenang, menghargai, dan meneladani semangat juang para pejuang yang telah berkorban demi tanah air. Momen ini bukan sekadar simbol, tetapi pengingat akan semangat juang dan pengorbanan tanpa pamrih yang menjadi fondasi berdirinya bangsa.
Setiap tahun, masyarakat Indonesia memperingati Hari Pahlawan dengan berbagai kegiatan. Mulai dari upacara bendera, ziarah ke makam pahlawan, pawai, hingga refleksi nilai-nilai kepahlawanan untuk diterapkan dalam kehidupan masa kini.
Lalu, kapan sebenarnya Hari Pahlawan diperingati dan bagaimana sejarah lahirnya momen bersejarah ini? infoSulsel telah merangkum informasinya di bawah ini, meliputi:
Yuk, simak penjelasan lengkapnya berikut ini:
Hari Pahlawan diperingati tanggal 10 November setiap tahunnya. Peringatan ini telah diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres RI) Nomor 316 Tahun 1959 tentang Hari-hari Nasional yang Bukan Hari Libur.
Keputusan tersebut ditetapkan pada 16 Desember 1959 oleh Presiden Soekarno. Tujuan ditetapkannya hari nasional tersebut yakni menjadi momen untuk memperkuat ingatan kolektif dan peristiwa bersejarah bangsa.
Pada tahun 2025, peringatan Hari Pahlawan jatuh pada pada Senin, 10 November 2025.
Melansir RINONTJE: Jurnal Pendidikan dan Penelitian Sejarah berujudul “Pertempuran 10 November di Surabaya dan Pengaruhnya terhadap Eksistensi Kemerdekaan Indonesia” oleh Rentiniat Lase dkk, Hari Pahlawan dilatarbelakangi oleh pertempuran di Surabaya pada tanggal 10 November. Peristiwa tersebut menjadi perang antara Indonesia dan sekutu yang paling dahsyat setelah kemerdekaan Indonesia.
Pasukan sekutu, terdiri dari tentara Inggris dan Belanda (NICA) datang ke kota Surabaya pada 25 Oktober 1945. Kedatangan pasukan Sekutu ke Indonesia pada awalnya bertujuan untuk mengamankan para tawanan perang serta melucuti senjata tentara Jepang.
Namun, situasi berubah ketika pada tanggal 27 Oktober 1945, rombongan NICA yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal A.W.S Mallaby memasuki Surabaya dan segera mendirikan pos pertahanan. Pasukan Sekutu yang sebagian besar terdiri dari tentara Inggris kemudian menyerbu penjara dan membebaskan tawanan perang yang ditahan oleh pihak Indonesia.
Tak berhenti di situ, Sekutu juga memerintahkan rakyat Indonesia untuk menyerahkan senjata mereka. Permintaan tersebut mendapat penolakan keras dari masyarakat. Pada 28 Oktober 1945, pasukan Indonesia di bawah komando Bung Tomo melakukan serangan terhadap pos-pos pertahanan Sekutu dan berhasil menguasai beberapa titik penting di kota itu.
Meski sempat ada kesepakatan gencatan senjata pada 29 Oktober, bentrokan tetap tidak terhindarkan. Ketegangan memuncak ketika Brigadir Jenderal Mallaby tewas pada 30 Oktober 1945, yang kemudian memicu kemarahan pihak Inggris.
Pagi hari 10 November, tentara Inggris melancarkan serangan besar-besaran ke Surabaya. Rakyat dan pasukan Indonesia melakukan perlawanan hebat, meski Inggris mengeluarkan ultimatum melalui Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh, pengganti Mallaby. Dalam ultimatum itu, Indonesia diminta menyerahkan senjata dan menghentikan perlawanan, atau Surabaya akan digempur dari darat, laut, dan udara.
Para pejuang dan arek-arek Surabaya menolak tunduk pada ancaman tersebut. Akibatnya, Inggris melancarkan serangan besar dari berbagai arah, memicu pertempuran dahsyat yang kemudian dikenang sebagai salah satu peristiwa paling heroik dalam sejarah perjuangan bangsa yakni Pertempuran Surabaya, 10 November 1945.
Melansir infoEdu ada 8 Tokoh pada pertempuran di Surabaya pada 10 November yakni Bung Tomo, Raden Mas Tumenggung Suryo, Mayjen Sungkono, Mayjen Mangoendiprodjo, Prof Dr Moestopo, KH Hasyim Asy’ari, Abdul Wahab, dan K’tut Tantri. Berikut perannya masing-masing:
Tokoh bernama asli Sutomo, yang lebih dikenal dengan Bung Tomo, memiliki peranan penting dalam Pertempuran Surabaya. Salah satu kontribusi yang paling membekas dalam ingatan bangsa adalah pidatonya yang menggetarkan semangat rakyat, disiarkan melalui radio pada 10 November 1945.
Dalam pidatonya tersebut, Bung Tomo menyerukan agar seluruh rakyat Surabaya bangkit melawan pasukan Sekutu dan NICA, dengan pekikan legendarisnya, “Merdeka atau Mati!”, yang menjadi simbol keberanian dan semangat juang tanpa menyerah.
Menurut penelitian Muhammad Haerulloh Zikri dalam Jurnal Pendidikan Sejarah (Vol. 2, No. 3, 2023), Bung Tomo juga berperan besar dalam pengambilalihan senjata dari bekas tentara Jepang di gedung tua Panti Asuhan Don Bosco. Senjata-senjata tersebut kemudian dimanfaatkan oleh para pejuang Surabaya untuk menghadapi pasukan Sekutu dan NICA dalam pertempuran heroik itu.
Setelah Indonesia merdeka, Raden Mas Tumenggung Suryo dipercaya menjadi Gubernur pertama Jawa Timur. Di awal masa jabatannya, ia langsung menghadapi situasi genting akibat kedatangan pasukan Sekutu dan NICA.
Sebagai pemimpin daerah, Gubernur Suryo tidak tinggal diam. Ia turut berjuang bersama rakyat Surabaya dan membakar semangat juang mereka melalui pidato bersejarah pada 9 November 1945, sehari sebelum pecahnya pertempuran besar di Surabaya. Menurut buku Pahlawan Nasional Gubernur Suryo karya Sutjiatiningsih (1977), pidato tersebut berhasil menyatukan tekad rakyat untuk melawan penjajahan dengan penuh keberanian.
Selama Pertempuran Surabaya, Mayor Jenderal TNI (Purn) Sungkono menjabat sebagai komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) di wilayah Surabaya. Ia memimpin pasukan yang berjuang melawan upaya Sekutu untuk kembali menguasai Indonesia.
Peran penting Mayjen Sungkono terlihat dalam kemampuannya menyatukan berbagai kekuatan perjuangan rakyat, mulai dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Pemuda Republik Indonesia (PRI), hingga Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), agar bersatu menghadapi musuh dalam satu komando perjuangan.
Mayor Jenderal TNI (Purn) Muhammad Mangoendiprodjo, pimpinan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), juga turut berjuang dalam Pertempuran Surabaya. Tokoh kelahiran Sragen, 5 Januari 1905 ini dikenal sebagai salah satu sosok yang menolak keras ultimatum Sekutu.
Ia bersama para pejuang seperti Bung Tomo, Abdul Wahab, Moestopo, dan Doel Arnowo dengan gigih mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman penjajahan kembali oleh pasukan Sekutu dan NICA.
Prof. Dr. Moestopo dikenal sebagai dokter gigi sekaligus pejuang. Ia menunjukkan kepemimpinan yang luar biasa dalam Pertempuran Surabaya. Ia turut mengorganisir pengambilan senjata dari tangan tentara Jepang untuk digunakan dalam melawan pasukan Inggris dan NICA.
Atas keberanian tersebut menjadikan Moestopo sebagai salah satu tokoh penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
KH Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama besar yang juga memiliki peran penting dalam perlawanan di SURABAYA. Salah satu sumbangsi terbesarnya adalah mengeluarkan fatwa “Resolusi Jihad” pada 22 Oktober 1945, yang mewajibkan umat Islam berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Menurut buku KH Hasyim Asy’ari dan Resolusi Jihad karya Muhammad Rijal Fadli dan Bobi Hidayat (2018), seruan tersebut membangkitkan semangat rakyat untuk ikut berperang melawan Sekutu dan NICA, menjadikan perjuangan di Surabaya sebagai jihad fi sabilillah dalam mempertahankan tanah air.
Abdul Wahab dikenal sebagai fotografer pejuang yang berhasil mengabadikan berbagai momen penting dalam Pertempuran Surabaya. Ia adalah sosok di balik foto legendaris ketika rakyat Surabaya merobek bendera Belanda (Merah Putih Biru) di Hotel Yamato.
Selain itu, Abdul Wahab juga mendokumentasikan perjuangan rakyat membawa bambu runcing dan momen Bung Tomo berorasi, meski harus berjuang keras melindungi roll film kameranya agar tidak dirampas selama pertempuran.
Di balik kisah heroik rakyat Surabaya, terdapat pula sosok wanita asing bernama Muriel Pearson, atau lebih dikenal dengan K’tut Tantri. Perempuan asal Amerika kelahiran Skotlandia ini berperan penting dalam menyiarkan kabar perjuangan Surabaya ke dunia internasional.
Dalam siarannya, K’tut Tantri menyerukan semangat perjuangan rakyat Indonesia dengan kutipan “live or die” yang terinspirasi dari pidato Bung Tomo. Berkat upayanya, Pertempuran Surabaya mendapat perhatian dunia, termasuk aksi demonstrasi para pelajar Australia di depan Kedutaan Belanda, sebagaimana dijelaskan dalam studi “Struggle Against Colonialism in Indonesia in K’Tut Tantri’s Revolt in Paradise” oleh Salamun.
Itulah informasi Hari Pahlawan tanggal berapa beserta sejarah dan tokoh-tokohnya. Semoga menambah wawasan ya, infoers!







