Puasa Tarwiyah dan Arafah merupakan puasa sunnah yang dikerjakan sebelum Hari Raya Idul Adha. Puasa Tarwiyah dilaksanakan pada tanggal 8 Dzulhijjah, sementara puasa Arafah dilakukan sehari setelahnya, yakni pada tanggal 9 Dzulhijjah.
Kedua puasa ini termasuk dalam amalan sunnah yang dianjurkan di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, yang merupakan waktu istimewa dalam Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits bahwa Allah SWT mencintai segala amal saleh yang dilakukan pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, termasuk ibadah puasa.
“Tiada sebarang hari pun yang lebih disukai Allah dimana seorang hamba beribadah di dalam hari-hari itu daripada ibadah yang dilakukannya di dalam 10 hari Dzulhijjah. Puasa sehari di dalam hari itu menyamai puasa setahun dan qiyamulail (menghidupkan malam) di dalam hari itu seumpama qiyamullail setahun.”[1]
Meski banyak yang telah mengerjakan puasa ini, tak sedikit pula yang ingin mengetahui dasar anjuran tersebut. Nah di bawah ini, infoSulsel menyajikan informasi lengkap terkait hadits dan keutamaan puasa Tarwiyah dan Arafah.
Yuk, simak selengkapnya!
Puasa Tarwiyah merupakan puasa sunnah yang dilakukan pada tanggal 8 Dzulhijjah. Kata Tarwiyah berasal dari bahasa Arab rawa-yarwi, yang berarti mengambil atau membawa air.
Hal itu karena hari tersebut, para jamaah haji mengisi persediaan air, khususnya air zam-zam, sebagai persiapan perjalanan menuju Arafah dan Mina.
Terdapat sebuah hadits yang secara khusus menganjurkan pelaksanaan puasa pada hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah). Hadits tersebut berbunyi:
مَنْ صَامَ الْعَشْرَ فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ صَوْمُ شَهْرٍ ، وَلَهُ بِصَوْمٍ يَوْمِ التَّرْوِيَةِ سَنَةٌ ، وَلَهُ بِصَوْمٍ يَوْمِ عَرَفَةَ سَنَتَانِ
Artinya: “Siapa yang puasa 10 hari, maka untuk setiap harinya seperti puasa sebulan. Dan untuk puasa pada hari tarwiyah seperti puasa setahun, sedangkan untuk puasa hari arafah, seperti puasa dua tahun.”
Hadits ini berasal dari jalur Ali al-Muhairi dari at-Thibbi, dari Abu Sholeh, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, secara marfu’. Namun, para ulama menegaskan bahwa hadits ini termasuk hadits palsu (maudu’). Salah satu ulama, Ibnu Jauzi (wafat 597 H), menyatakan bahwa:
وهذا حديث لا يصح . قَالَ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ : الطبي كذاب . وَقَالَ ابْن حِبَّانَ : وضوح الكذب فيه أظهر من أن يحتاج إلى وصفه 18
Hadits ini tidak sahih. Sulaiman at-Taimi mengatakan, ‘at-Thibbi seorang pendusta.’ Ibnu Hibban menilai, ‘at-Thibbi jelas-jelas pendusta. Sangat jelas sehingga tidak perlu dijelaskan.’ (al-Maudhu’at, 2/198).
Meskipun demikian, tidak ada larangan untuk melaksanakan puasa Tarwiyah. Penjelasan tersebut hanya menunjukkan bahwa puasa Tarwiyah tidak memiliki keutamaan khusus yang disebutkan secara pasti dalam hadits sahih.
Oleh karena itu, umat muslim tetap dianjurkan untuk berpuasa pada hari tersebut. Sebagaimana anjuran untuk puasa pada tanggal 1-9 Dzilhijjah.
Hal ini sesuai dengan hadits berikut:
عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ، عَنِ امْرَأَتِهِ، عَنْ بَعْضٍ، أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ، وَيَوْمَ
عَاشُورَاءَ، وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ» (سنن أبي داود، 2/ 325)
Dari Hunaidah ibn Khalid, dari istrinya, dari istri-istri Nabi SAW, mereka berkata, “Rasulullah SAW biasa berpuasa sembilan hari di bulan Dzulhijjah, berpuasa di hari Asyura, berpuasa tiga hari di setiap bulannya, puasa senin pertama dan juga hari kamis di setiap bulannya”. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, dan Nasa’i. Ahmad dan Nasa’i menambahkan, “dan dua kamis. (HR. Abu Dawud)[2]
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tidak terdapat keutamaan dalam hadits sahih terkait puasa Tarwiyah. Bahkan, banyak hadits yang mengaitkannya justru dinilai lemah oleh para ulama.
Kendati demikian, seseorang yang melaksanakannya tetap bisa meraih pahala jika didasarkan pada hadits tentang keutamaan beramal saleh di awal bulan Dzulhijjah. Nabi Muhammad SAW bersabda:
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ
“Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzulhijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim).[3]
Puasa Tarwiyah dikerjakan pada tanggal 9 Dzulhijjah. Berdasarkan ketetapan pemerintah dan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, pada tahun 2025 ini, puasa Tarwiyah bertepatan pada Rabu, 4 Juni 2025.
Bagi umat muslim yang ingin mengerjakannya, berikut ini niat puasa Tarwiyah:
نَوَيْتُ صَوْمَ تَرْوِيَةَ سُنَّةً لِلَّهِ تَعَالَى
Arab Latin: Nawaitu shauma tarwiyata sunnatan lillāhi Ta’ala.
Artinya: “Saya berniat melakukan puasa sunah Tarwiyah karena Allah Ta’ala.”[4]
Puasa Arafah adalah puasa sunnah yang dikerjakan pada tanggal 9 Dzulhijjah, khususnya bagi kaum muslimin yang tidak sedang menunaikan ibadah haji. Hari tersebut bertepatan dengan pelaksanaan wukuf di Padang Arafah, salah satu rukun utama dalam ibadah haji.
Anjuran untuk mengerjakan puasa Arafah ini dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah bersabda:
“Tiada amal yang soleh yang dilakukan pada hari-hari lain yang lebih disukai daripada hari-hari di sepuluh hari pertama dalam bulan Dzulhijjah.”[2]
Adapun orang yang berhaji tidak disunnahkan untuk melaksanakan puasa Arafah. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ بِنْتِ الْحَارِثِ أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ فَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ فَشَرِبَهُ
“Dari Ummul Fadhl binti Al Harits, bahwa orang-orang berbantahan di dekatnya pada hari Arafah tentang puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian mereka mengatakan, ‘Beliau berpuasa.’ Sebagian lainnya mengatakan, ‘Beliau tidak berpuasa.’ Maka Ummul Fadhl mengirimkan semangkok susu kepada beliau, ketika beliau sedang berhenti di atas unta beliau, maka beliau meminumnya.” (HR. Bukhari no. 1988 dan Muslim no. 1123).[5]
Puasa Arafah memiliki keutamaan yang sangat besar, bahkan melebihi puasa sunnah lainnya di sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah. Keutamaanya adalah diberikannya ampunan dosa satu tahun yang telah berlalu dan satu tahun yang akan datang.
Dari Abu Qatadah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi bersabda,
صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله ، والسنة التي بعده
“…puasa hari arafah, saya berharap kepada Allah agar menjadikan puasa ini sebagai penebus (dosa) satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya..” (HR. Muslim).[2]
Puasa Arafah 2025 dikerjakan pada Kamis, 5 Juni 2025. Bagi umat muslim yang ingin mengerjakannya, berikut niat puasa Arafah:
نَوَيْتُ صَوْمَ عَرَفَةَ سُنَّةً لِلَّهِ تَعَالَى
Arab Latin: Nawaitu shauma ‘arafata sunnatan lillaahi ta’aala.
Artinya: “Aku berniat puasa ‘Arafah, sunnah karena Allah Ta’ala.”[4]
Demikianlah informasi terkait hadits hingga keutamaan puasa Tarwiyah dan Arafah. Semoga bermanfaat!
Referensi:
[1] Buku Fiqh Ibadah karya Nur Hidayah Al Amin Lc ME Sy dan Khairul Imam SHI, MSi
[2] Buku Amalan Ibadah Bulan Dzulhijjah karya Hanif Luthfi Lc, MA
[3] Laman Rumaysho berjudul ‘Hukum Puasa Tarwiyah’
[4] Laman Kementerian Agama yang berjudul ‘Niat Puasa Tarwiyah dan Arafah’
[5] Laman Muhammadiyah berjudul ‘Puasa Arafah, Haruskah Bertepatan dengan Wukuf?’