Saya memahami gugatan pasangan calon nomor urut 3, Rahmat Masri dan Andi Tenri Karta terhadap hasil pemungutan suara ulang (PSU) Pilwalkot Palopo 2025, sebagai hak konstitusional yang dijamin undang-undang. Namun, gugatan itu lebih banyak mengandung narasi penggiringan opini publik yang menyesatkan ketimbang berbasis pada pemahaman hukum yang benar.
Gugatan Rahmat Masri dan Andi Tenri Karta ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 4 Juni 2025 lalu menyoal dua hal utama terkait dokumen Naili dan Akhmad Syarifuddin sebagai Pasangan Calon Wali Kota Palopo dan Wakil Wali Kota Palopo nomor urut 4.
Pertama, gugatan menyebutkan adanya ketidaksesuaian tanggal Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak antara yang diunggah oleh Naili di Sistem Informasi Pencalonan (SILON) dan yang dikeluarkan oleh Kantor Pajak Jakarta Utara. Kedua, gugatan menyinggung Akhmad Syarifuddin pernah dipidana dan tidak secara terbuka menyampaikan status tersebut kepada publik.
Terhadap poin gugatan yang pertama, kita tinggal merujuk pada UU Nomor 10 Tahun 2016 dan PKPU Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota. Berdasarkan undang-undang tersebut, maka seorang calon kepala daerah hanya diwajibkan memiliki NPWP dan laporan pajak pribadi.
Dengan demikian, Surat Keterangan Fiskal (SKF) tertanggal 19 Maret 2025 menunjukkan bahwa Naili telah memenuhi kewajiban perpajakan. Perlu diingat, tanggal 19 Maret 2025 tersebut lebih awal daripada penetapan pasangan calon pada 23 Maret 2025. Kesalahan unggahan di SILON hanyalah kesalahan administratif dan telah ditindaklanjuti oleh Bawaslu Palopo.
Adapun terhadap poin gugatan yang kedua, kita perlu merujuk pada Putusan MK Nomor 71/PUU-XIV/2016 dan PKPU Nomor 8 Tahun 2024 bahwa mantan terpidana dapat mencalonkan diri jika telah menyampaikan statusnya secara jujur kepada publik dan telah melewati masa lima tahun sejak hukuman dijalani.
Gugatan Rahmat Basri dan Andi Tenri jelas tidak berdasar, sebab, Akhmad Syarifuddin jelas telah secara terbuka menyampaikan statusnya tersebut melalui Harian Palopo Pos pada 7 Maret dan 9 April 2025, serta melalui media sosial pribadinya. Informasi ini diperkuat oleh surat resmi dari Kejaksaan Negeri Palopo dan Lapas Kelas IIA Palopo yang menyatakan bahwa beliau tidak sedang menjalani proses hukum atau hukuman berulang.
Gugatan yang diajukan, meskipun sah secara hukum, dinilai sarat kepentingan politik pribadi dan merugikan masyarakat Palopo secara luas. Pertama, tidak adanya kepala daerah definitif jelas menghambat realisasi mandat rakyat dan menciptakan kekosongan arah kebijakan.
Kedua, tertundanya penyusunan dan pengesahan RPJMD menghambat program prioritas pembangunan. Ketiga, penundaan pelaksanaan proyek pelayanan publik dan program sosial berdampak langsung pada kesejahteraan warga.
Gugatan itu juga dapat menyebabkan ketidakpastian politik menahan arus investasi dan mempersempit lapangan kerja. Tak sampai di situ, energi sosial masyarakat terpecah pada drama politik, bukan pada pembangunan.
Sebagai penutup, saya sekali lagi memahami setiap jalur hukum harus dihormati dalam demokrasi. Namun, kepentingan rakyat tidak boleh disandera oleh ambisi segelintir pihak. Ketika gugatan kehilangan substansi hukum dan beralih menjadi alat penggiringan opini, yang dirugikan bukan hanya kandidat, tetapi seluruh masyarakat Palopo.
Transparansi dan kepatuhan terhadap hukum telah ditunjukkan oleh pasangan calon nomor urut 4. Kini, sudah saatnya energi dan perhatian dialihkan kembali untuk membangun Palopo yang lebih baik, sesuai dengan amanat rakyat melalui kotak suara.
Walter Notteboom, HBA, merupakan seorang Alumni University of Toronto, Canada. Walter selama ini banyak berperan memberikan nasehat hukum dan politik kepada ibundanya, Naili Trisal dan Ahkmad Syrifuddin yang bertarung di PSU Pilkada Palopo 2025. Penulis diketahui akan melanjutkan study magister di Harvard Law School, USA pada tahun ini.