Sejumlah mantan pegawai kontrak Perusahaan Umum Daerah Air Minum (PDAM) Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel) mengeluhkan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mereka alami. Salah satunya karena mereka baru saja memperpanjang kontraknya pada Maret lalu.
Umbar Joko Nasrioni, salah satu mantan pegawai yang terkena PHK massal tersebut. Umbar mengaku heran sebab surat keputusan (SK) perpanjangan kontraknya baru diperbarui pada Maret lalu dan status kepegawaiannya dinaikkan menjadi 80 persen.
“SK perpanjangan saya habis tanda tangan di bulan 3 kemarin. Terus ada SK ku lagi pengangkatan 80 (persen), masuk namaku, tapi dibatalkan lagi. Itu yang saya kecewa,” kata Umbar kepada infoSulsel, Senin (2/6/2025).
Dia juga mempertanyakan pelaksana tugas (Plt) Dirut PDAM Hamzah Ahmad yang baru diangkat langsung melakukan PHK massal. Menurutnya, seorang Plt tidak bisa melakukan pemutusan kontrak pegawai berdasarkan Permendagri.
“Seharusnya kan Plt tidak bisa membatalkan,” katanya.
Umbar mengungkapkan, dirinya bersama para pegawai kontrak lainnya menerima surat pemecatan secara tiba-tiba pada 28 Mei. Saat itu, dia masih berada di lapangan bekerja sebagai petugas pencatat meteran air.
“Kita itu dari pagi tidak tahu bilang kita mau di-PHK, semua tidak ada yang tahu. Nanti sekitar jam 4 atau setengah 5 dipanggil semua,” tutur Umbar.
“Saya lagi kerja di lapangan, saya kan pembaca meter, yang catat-catat meter PDAM, lagi kerja, lagi selesaikan sisa-sisa meteran yang belum saya foto, terus saya antar-antar tertagihan, lagi panas-panasnya kita ini kasian keliling-keliling, tiba-tiba dari kantor ada pemberitahuan yang seperti itu,” ujar Umbar.
Di sisi lain, dia merasa kebijakan direksi PDAM ini diskriminatif. Pasalnya, sejumlah pegawai kontrak lainnya masih dipertahankan.
“Dari 209 orang kita ini yang kena PHK, masih ada sisa 90 orang yang belum kena juga. Jadi banyak teman-teman kecewa masa 90 orang masih di sisa sementara mereka kontrak juga,” katanya.
“Seharusnya kan kalau memang mau adil satu kali semua jangan ada yang di-sisa, disimpan-simpan, seolah-olah ini, kita tahu sendiri di PDAM tidak ada dekkeng setengah mati,” imbuhnya.
Sementara yang dipertahankan, lanjut Umbar, adalah pegawai yang kontraknya berakhir pertengahan tahun ini. Sementara dirinya, kontraknya berakhir tahun depan.
“Iya ada diskriminasi, contoh ada beberapa di kantor ini, di wilayah saya di Cendrawasih, ada teman yang sudah habis masa kontraknya bulan 5, masih lanjut, dia dia tidak dikena. Sementara saya ini yang tahun depan bulan 3 dikena, kan tidak adil, ada apa ini? Diskriminasi,” katanya.
Umbar pun kini berencana mendaftar sebagai pengemudi ojek online (ojol). Dia juga mengaku kesulitan melamar pekerjaan di perusahaan lagi.
“Apalagi di umur juga sekarang yang sudah 47 (tahun) baru kena PHK sepihak, yang saya tidak terimanya begini, saya kan kontrak kerjaku berakhir nanti tahun depan bulan 3,” ucap dia.
“Rencana mau daftar jadi ojol mau perpanjang dulu SIM. Sisa itu tujuan kita karena kita ini orang kecil, usia juga sudah tidak muda lagi,” tambah Umbar.
Pilihan menjadi ojol terpaksa diambil untuk menyambung hidup bersama keluarganya. Apalagi dia juga tinggal bersama orang tua dan dua anak.
“Saya punya istri, ada orang tua, ada anak. Cicilan motor, masih kontrak rumah. Seandainya di sampai tahun depan ya mungkin masih bernafas, masih ada cicilan motor, bayar kontrak rumah,” jelasnya.
Mantan pegawai lainnya yang juga terkena PHK inisial A (43) menyayangkan kebijakan PDAM Makassar. Atas kebijakan yang tiba-tiba itu, ia kini dibuat pusing untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
“Masih pusing ini cari cara untuk kebutuhan sehari-hari,” kata A (43) kepada infoSulsel, Senin (2/6).
Sebagai kepala rumah tangga, dia mengaku bekerja sebagai pegawai PDAM adalah satu-satunya sumber penghasilan keluarga. Saat ini, dia tinggal bersama istri, anak, dan mertuanya.
“Anak dua, yang satu sudah naik kelas dua SMP, yang kecil naik kelas tiga SD. Iya, cuma saya (yang bekerja) dan ada lagi mertua (tinggal di rumahnya),” jelasnya.
Selama ini, lanjutnya, dia menerima honor sebanyak Rp 2,4 juta sebagai tenaga kontrak di PDAM Makassar. Meski di bawah upah minimum, gajinya itu masih bisa dicukupkan untuk kebutuhan sehari-hari.
“Ya alhamdulillah, masih ini lah, kita cukup-cukupkan untuk makan, minum, untuk dapur masih ada-lah,” katanya.
Selama ini dia bekerja sebagai petugas di bagian lapangan untuk penanganan pipa bocor. Sering dia bersama rekannya harus menyelam di bawah got kalau ada pipa yang mengalami kebocoran.
“Saya teknik lapangan, kerja kebocoran, kalau ada pipa yang bocor, kita yang turun di got, di dalam tanah menggali,” ucapnya.
Harapan ekonomi keluarganya membaik saat dirinya menerima SK sebagai calon pegawai tetap pada Maret lalu. Sayangnya, SK itu dibatalkan sebelum dirinya menerima kenaikan gaji hingga kini telah di-PHK.
“Saya ada SK 80 tapi dibatalkan, tidak jadi. Iya itu harapan kami kasian, (SK 80) itu sudah termasuk calon pegawai, 80 persen. Itu sudah terbit, malah tiba-tiba langsung dibatalkan jadi tenaga kontrak kembali. Terbit bulan 3, jadi tidak sempat saya nikmati gaji 80 persen,” katanya.
“Kita tahu lah keadaan bagaimana, istri di rumah kasihan lihatnya, anak-anak juga, belum bisa saya jawab pertanyaannya kenapa berhenti kerja. Belum bisa saya jawab pertanyaannya anak-anak,” katanya dengan suara lirih.
Dia kini masih berusaha mencari kerja meski tidak mudah lagi karena batas usia. Pria yang kini sudah menginjak usia 43 tahun ini hanya berharap ada kenalannya siap menerimanya bekerja.
“Untuk sekarang masih telepon-teleponan sama teman-teman siapa tahu ada kerjaan di tempatnya atau di mana,” harapnya.
Untuk diketahui, PDAM Makassar mulai melakukan pemutusan PHK pegawai kontrak secara bertahap. Langkah itu diambil usai PDAM disebut mengalami kerugian hingga Rp 2,1 miliar imbas perekrutan yang tidak sesuai prosedur.