Duduk Perkara 20 Buruh Tuntut PT Huadi Nickel Bayar Upah Lembur Rp 983 Juta

Posted on

PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia dituntut membayar sisa upah lembur Rp 983 juta terhadap 20 mantan karyawannya. Namun, PT Huadi lolos dari tuntutan itu setelah gugatan penolakan membayar sisa upah lembur tersebut dikabulkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Makassar.

Kuasa hukum buruh, Hasbih Asiddiq mengatakan perkara ini bermula dari gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap para buruh PT Huadi Nickel-Alloy. Setelah PHK terjadi, terungkap fakta bahwa perusahaan memberlakukan sistem kerja 12 jam per hari tanpa persetujuan buruh.

“Ini yang kemudian dipersoalkan oleh teman-teman buruh bahwa sistem kerja tersebut tidak memberikan kesempatan kepada buruh untuk memilih melaksanakan lembur atau tidak,” kata Hasbih Asiddiq kepada infosulsel, Jumat (31/10/2025).

Hasbih lantas menyinggung jam kerja normal yang seharusnya hanya 8 jam dan selebihnya harus dihitung lembur. Dia juga menegaskan pihak perusahaan wajib meminta persetujuan buruh terlebih dahulu jika akan menerapkan lembur.

“Jadi yang terjadi itu adalah 12 jam kerja wajib. Maka dengan itu yang terungkap di persidangan juga, jam kerjanya,” jelasnya.

Selain jam kerja, kliennya turut mempermasalahkan terkait upah lembur yang diberikan tidak sesuai ketentuan. Padahal, kelebihan jam kerja buruh seharusnya dihitung dan dibayar sebagai upah lembur.

Saat ini, 20 buruh sedang menjalani proses gugatan di pengadilan. Namun, putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim diperkirakan akan berdampak terhadap seluruh buruh perusahaan.

“Jadi buruh itu hanya diupah, misalnya Rp 30 ribu sampai Rp 40 ribu per jam untuk upah lembur. Tapi yang dibayarkan oleh perusahaan itu hanya Rp 12 ribu sampai Rp 20 ribu per jam. Jadi ada yang belum dibayarkan oleh perusahaan,” jelas Hasbih.

Hasbih menyebut rata-rata buruh belum menerima upah lembur sekitar Rp 1,5 juta hingga Rp 1,7 juta per orang. Jika dihitung sejak masa kerja yakni lebih dari tiga tahun, jumlahnya bervariasi mulai dari Rp 15 juta hingga Rp 80 juta per buruh.

“Kan ada 20 orang (yang digugat dalam persidangan), total tuntutannya (buruh terhadap perusahaan) itu kurang lebih sekitar Rp 2,1 miliar,” tuturnya.

Kasus ini kemudian bergulir di PN Makassar setelah perusahaan terlebih dahulu menggugat buruh. Gugatan itu dilakukan untuk membenarkan sistem kerja dan pembayaran upah yang diterapkan perusahaan.

“Sudah ada penetapan dari pengawas ketenagakerjaan bahwa perusahaan harus membayarkan Rp 983 juta. Cuma itu tidak mau dibayarkan oleh perusahaan, akhirnya digugatlah buruh,” ucapnya.

Buruh sebelumnya telah melaporkan dugaan pelanggaran tersebut ke pengawas ketenagakerjaan pada Juli 2025. Laporan tersebut telah diproses dan telah diterbitkan Nota Pemeriksaan I dan II.

“Kalau ada pelanggaran ketenagakerjaan, dia harus diproses di pengawas ketenagakerjaan. Sudah terbit itu nota 1 dan nota 2, artinya perusahaan itu harus membayar kekurangan sisa lembur yang sudah ditetapkan oleh pengawas,” ujarnya.

Lebih lanjut, Hasbih mengatakan jika para buruh KIBA juga telah melaporkan PT Huadi Nickel-Alloy ke Polres Bantaeng pada Juli 2025. Namun hingga kini belum ada perkembangan dari pihak kepolisian.

“Kita sudah melapor di Polres Bantaeng. Sudah ada pengaduan, buruh sudah diinterogasi juga, cuma sampai sekarang belum ada tindak lanjutnya,” ucapnya.

PT Huadi Dilaporkan ke Pengawas Ketenagakerjaan dan Polres Bantaeng