DPRD Luwu Minta Proyek PLTM Diinvestigasi Usai Ditolak Warga di Bastem

Posted on

Warga di Bastem, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan (Sulsel), menolak proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTM) dan tambang galian C milik PT Tiara Tirta Energi, hingga berujung dianiaya. DPRD Luwu pun turun tangan menyikapi masalah ini dan meminta Inspektorat untuk melakukan investigasi.

Anggota DPRD Luwu komisi 3, Andi Mammang mengatakan pihaknya telah mengeluarkan rekomendasi pemberhentian sementara terhadap proyek PLTM dan tambang galian C itu. Rekomendasi dikeluarkan setelah melakukan rapat dengar pendapat (RDP) bersama warga Desa Bolu.

“Iya ada, rekomendasi itu dari hasil RDP dengan pihak demo yang menyampaikan aspirasinya atas menurut mereka ada lahan rumpunnya sekitar 21 hektare dibeli perusahaan PLTM tanpa sepengetahuan dari mereka,” kata Mammang kepada wartawan, dikutip Sabtu (26/4/2025).

Mammang mengungkapkan rekomendasi tersebut diserahkan kepada Inspektorat untuk ditindaklanjuti. Selain itu, dia menyebut rekomendasi bertujuan untuk menghindari adanya hal yang tidak diinginkan.

“Setelah di RDP diakui pihak PLTM bahwa memang sudah dibeli dengan bukti surat keterangan terdaftar (SKT) dari desa setempat, Bolu, karena SKT itu hanya dua, yang satu 17 hektare dan yang kedua 4 hektare,” bebernya.

Namun menurutnya, SKT tersebut perlu ditinjau ulang. Sebab kewenangan pemerintah desa hanya bisa mengeluarkan SKT maksimal seluas 2 hektare.

“Maka dianggap tidak sesuai kewenangan pemerintah desa mengeluarkan SKT melewati maksimal 2 hektare,” ungkapnya.

“Sehingga rekomendasi dikeluarkan ke Inspektorat Luwu (agar) dilakukan investigasi terkait SKT tersebut, kemudian poin kedua demi menjaga hal-hal yang tidak kita inginkan terjadi di lokasi tersebut,” imbuh Mammang.

Sejumlah warga yang menolak proyek tersebut kemudian menggelar unjuk rasa di lokasi PLTM hingga berujung dianiaya. Mereka mengklaim lahan dan sungai adat digunakan tanpa sepengetahuannya.

“Kami menuntut pemberhentian kegiatan di desa kami dalam hal ini PT Tiara Tirta Energi. Kami datang membawa rekomendasi pemberhentian dari DPRD, pas kami bacakan, kami diburu terus pas masuk (wilayah tambang) terjadilah pemukulan oleh WNA di situ,” kata warga bernama Jothan Matande kepada infoSulsel, Kamis (24/4).

Dugaan pemukulan tersebut terjadi pada Kamis (17/4) sekitar pukul 08.00 Wita. Jothan mengatakan kejadian bermula ketika dirinya bersama puluhan masyarakat adat mendatangi tambang dan melakukan unjuk rasa.

“Kami sudah berapa kali keluhkan, bersama masyarakat adat di sana. Itu sungai adat kami tercemar, izinnya dulu cuma pembangunan PLTA tapi ada juga tambang C di situ,” ucapnya.

“Surat rekomendasi dari DPRD terbit dan kita bawa ke sana. Pas kami di situ belum selesai menyampaikan surat keputusan dari DPRD, ada ini tenaga kerja di atas dalam hal ini tenaga kerja asing yang langsung menyelip kami pakai motor,” ungkapnya.

Lanjutnya, beberapa orang warga juga memaksakan masuk melihat kondisi sungai adatnya. Namun, mereka dihalangi dan didorong oleh pekerja yang merupakan WNA.

“Belum habis dibacakan kami langsung meminta masuk ke tambang, tambang yang dikelola oleh PT Tirta ini. Kami diburu terus memang, pas masuk terjadilah pemukulan di situ,” ungkapnya.

“Sudah saya laporkan, ada video saya didorong, bagian dada saya didorong, padahal kita perjuangkan ini hak kita dan anak cucu kita kelak,” tambahnya.

Terpisah, Kasi Humas Polres Luwu Iptu Yakobus Rimpung membenarkan terkait adanya aduan penganiayaan warga oleh WNA. Dia mengaku akan melakukan penyelidikan terkait dugaan penganiayaan itu.

“Ini laporan pengaduan, tapi tetap akan ditindak lanjuti dengan melakukan penyelidikan terhadap apa yang dilaporkan dalam pengaduan tersebut,” ucapnya.

Sementara itu, pihak perusahaan yang dikonfirmasi infoSulsel belum memberikan tanggapan terkait kejadian ini.

Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.

Parengnge atau pemangku adat Bolu Barak, Matius Kombo mengungkap alasan warga menolak proyek PLTM. Dia menyoroti pembangunan PLTM yang menggunakan pasir dan batu sungai adat mereka.

“Selama ini yang menjaga kelestarian tanah ini kami, sungai kami, yang akan dinikmati anak cucu kami nantinya, pengambilan pasir dan batu di sungai itu kami haramkan,” ujar Matius kepada infoSulsel, Kamis (24/4).

Matius mengatakan, proyek tersebut hanya memiliki izin pembangunan PLTM. Sehingga menurutnya, pengerukan material sungai adalah suatu pelanggaran.

“Kesepakatan pembangunan proyek tersebut awalnya di tahun 2014 itu. Dan disepakati kepala desa waktu itu dengan syarat asalkan amdal dipertimbangkan dengan baik, tidak ada izin sungai,” ungkapnya.

“Cuma waktu itu kami bersama masyarakat sepakati untuk adanya pembuatan jalan dan jembatan, untuk dinikmati masyarakat dan anak cucu ke depan, tapi sampai sekarang tidak dipenuhi, malahan sungai kami dikeruk semaunya saja,” tambahnya.

Matius menjelaskan, dirinya dan warga telah beberapa kali melakukan unjuk rasa di lokasi proyek dan kantor DPRD Luwu. Namun, lagi-lagi aktivitas pengerukan sungai tetap berjalan.

“Sudah berapa kali ini adek saya, anak cucu saya semuanya lakukan unjuk rasa di sana, malahan diusir dan sempat didorong oleh pekerja di sana. Anehnya itu di sana tenaga kerja asing (TKA), terus lokal diusir,” tegasnya.

“Dan saya yakin, kalau pemerintah tutup mata akan hal itu, kami di sana rela apapun, termasuk darah kami relakan, itu tanah adat kami. Meskipun negara belum akui sebagai wilayah adat, tapi masyarakat Luwu Raya tahu itu lokasi kami,” tutupnya.

Warga Dianiaya Buntut Penolakan Proyek PLTM

Alasan Warga Tolak PLTM

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *