Wacana penerapan program pengampunan pajak atau tax amnesty jilid III kembali mencuat dan menjadi perbincangan publik. Isu ini muncul usai Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa secara terbuka menolak rencana tersebut.
Menurutnya, kebijakan tax amnesty ini berpotensi merusak kredibilitas pemerintah dalam penegakan pajak. Pasalnya, kebijakan tersebut dinilai memberi ruang bagi para wajib pajak untuk melanggar.
“Pandangan saya begini, kalau amnesty berkali-kali, gimana jadi kredibilitas amnesty? Itu memberikan sinyal ke para pembayar pajak bahwa boleh melanggar, nanti ke depan ke depan ada amnesty lagi, kira-kira begitu,” ujar Purbaya kepada wartawan yang dikutip dari infoFinance, Senin (22/9/2025).
“Kalau tax amnesty setiap berapa tahun, yaudah nanti semuanya nyelundupin duit, tiga tahun lagi buat tax amnesty, kira-kira begitu. Jadi message-nya kurang bagus,” tambahnya.
Lantas, apa itu tax amnesty? Yuk, simak penjelasan selengkapnya di bawah ini!
Disadur dari laman resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dijelaskan bahwa tax amnesty atau pengampunan pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, sanksi administrasi perpajakan, dan sanksi pidana di bidang perpajakan. Artinya, para wajib pajak dibebaskan dari kewajibannya membayar pajak yang seharusnya dibayar.
Untuk mendapatkan pengampunan pajak, wajib pajak harus melaporkan hartanya dan membayar sejumlah uang tebusan sesuai aturan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.
Pengampunan pajak diberikan kepada wajib pajak yang telah mengungkapkan harta yang dimilikinya melalui surat pernyataan. Namun, pengampunan ini tidak berlaku bagi wajib pajak yang sedang dalam proses penyidikan dan berkasnya telah dinyatakan lengkap oleh kejaksaan, sedang menjalani proses peradilan, atau menjalani hukuman pidana atas tindak pidana di bidang perpajakan.
Tujuan dari pengampunan pajak yang tertuang dalam UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak adalah sebagai berikut:
Masih mengacu pada laman resmi DJP, sebanyak 956.793 wajib pajak mengikuti program tax amnesty pada periode 2016-2017. Nilai harta yang dideklarasikan di dalam negeri mencapai Rp 3.676 triliun, sedangkan deklarasi harta di luar negeri tercatat sebesar Rp 1.031 triliun.
Komitmen repatriasi pajak tercatat sebesar Rp 147 triliun atau sekitar 14,7% dari target yang ditetapkan yakni sebesar Rp 1.000 triliun. Program yang dimulai sejak Juli 2016 ini juga berhasil menghimpun realisasi uang tebusan sebesar Rp 129 triliun, dari total target penerimaan yang ditetapkan yaitu sebesar Rp 165 triliun.
Pada tahun 2022, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang dikenal masyarakat sebagai tax amnesty jilid II. Namun, Staf Direktorat Jenderal Pajak Endra Wijaya Pinatih mengungkapkan bahwa PPS berbeda dengan program tax amnesty.
Program ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), dan berlaku sejak 1 Januari hingga 30 Juni 2022. Selama periode tersebut, wajib pajak diberikan kesempatan untuk secara sukarela mengungkapkan hartanya yang belum dilaporkan.
Endra Wijaya Pinatih menjelaskan bahwa tarif yang ditetapkan dalam PPS cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan program tax amnesty sebelumnya. Besaran tarif ini bergantung pada jenis kebijakan yang diikuti karena kebijakan PPS ini dibagi menjadi dua.
Kebijakan pertama ditujukan bagi wajib pajak yang mengikuti tax amnesty tahun 2016-2017 namun masih memiliki harta per 31 Desember 2015 yang belum diungkap. Dalam kebijakan ini, tarif yang dikenakan adalah 11% untuk harta yang dideklarasikan di luar negeri, 8% untuk harta luar negeri yang direpatriasi serta harta dalam negeri, dan 6% jika harta luar negeri yang direpatriasi maupun harta dalam negeri diinvestasikan dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN), proyek hilirisasi sumber daya alam (SDA), atau renewable energy.
Sedangkan kebijakan kedua diperuntukkan hanya kepada wajib pajak orang pribadi. Dasarnya adalah harta perolehan tahun 2016 sampai dengan 2020 yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan 2020. Dalam kebijakan ini, tarif yang dikenakan adalah 18% untuk harta deklarasi luar negeri, 14% untuk harta luar negeri yang direpatriasi dan harta dalam negeri, serta 12% untuk harta yang diinvestasikan pada SBN, hilirisasi SDA, atau renewable energy.
Tercatat sebanyak 247.918 wajib pajak mengikuti PPS, dengan total nilai harta yang dideklarasikan di dalam negeri sebesar Rp 512,58 triliun. Sementara itu, nilai deklarasi harta di luar negeri mencapai Rp 59,91 triliun.
Secara keseluruhan, total nilai harta bersih yang diungkap mencapai Rp 594,82 triliun. Kemudian penerimaan negara dari Pajak Penghasilan (PPh) yang terkumpul dari program ini sebesar Rp 60,01 triliun.
Nah infoers, itulah informasi seputar tax amnesty. Semoga bermanfaat dan dapat menambah wawasan!