Eksekusi rumah adat Tongkonan Ka’pun yang berusia 300 tahun di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan (Sulsel), menuai sorotan karena menggunakan ekskavator. Kasus tersebut kini dilaporkan 4 advokat asal Toraja ke Komisi Yudisial Republik Indonesia.
“Kami telah menyurat ke Komisi Yudisial melaporkan metode seperti ini, termasuk adanya gabah, bahan pangan yang juga dirusak oleh alat berat. Atas perintah PN Makale,” kata perwakilan advokat bernama Andika Kurniawan Rante Bombang kepada infoSulsel, Sabtu (13/12/2025).
Kurniawan bersama 3 advokat yakni Yodi Kristianto, Trigita Tiku Padang, dan Rino Valdo Damanik menyerahkan sepenuhnya kepada Komisi Yudisial untuk menelaah dugaan pelanggaran Prinsip Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Dia menyebut ini bukan bentuk kebencian, melainkan untuk memperjuangkan hak adat.
“Kita serahkan sepenuhnya kepada Komisi Yudisial yang menelaah. Kami tidak benci atau ada dendam pada siapapun, namun mengingat ini adalah negara demokrasi, negara hukum. Kita tentu punya hak untuk memperjuangkan,” bebernya.
Selain itu, Kurniawan mengatakan telah bersurat ke Komisi III DPR RI untuk permohonan melakukan rapat dengar pendapat atas kasus eksekusi rumah adat tongkonan. Langkah ini agar ke depan perlindungan terhadap tongkonan bisa dilakukan.
“Kami juga telah menyurat ke Komisi III DPR RI untuk melakukan RDP terkait kasus eksekusi tongkonan agar kasus dengan metode eksekusi seperti ini seharusnya tidak terulang kembali,” paparnya.
Kurniawan menjabarkan sudah ada 3 kasus eksekusi tongkonan di Tana Toraja dan Toraja Utara yang menggunakan alat berat. Tongkonan tersebut yakni Tongkonan di Jalan Poros Kia’tang-Lion pada 3 Juli 2025, Tongkonan To’ Rombi di Kelurahan Balusu pada 26 September, dan terakhir Tongkonan Ka’pun di Kelurahan Kurra pada 5 Desember.
“Kalau kita ibaratkan tongkonan sebagai bendera pusaka, apakah saat ada pihak yang kalah, bendera juga harus dihancurkan. Tentu seharusnya dilindungi sebab tongkonan ini bagian dari cagar budaya tak benda yang dilindungi,” bebernya.
Ia menyesalkan tindakan dari pihak pengadilan dan hakim yang mengadili perkara terkait tongkonan. Seharusnya, kata dia, mereka mampu melihat bahwa eksekusi tongkonan apalagi dengan memakai alat berat akan menimbulkan polemik.
“Kami menilai ada fakta berulang yang di mana diduga hakim telah melanggar Prinsip Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dengan penggunaan alat berat di tiga lokasi berbeda di wilayah Toraja,” tegasnya.
Kurniawan menilai tongkonan bukan sekadar bangunan biasa. Ada proses yang harus dilalui yakni terkait ritual adat (Aluk) dan diiringi doa.
“Begitupun jika harus dibongkar, baik itikad baik maupun dengan itikad tidak baik seperti sengketa hukum, seharusnya dilakukan secara baik-baik, manual, dan sesuai tata cara adat, bukan dengan merusak seperti menggunakan alat berat,” tegasnya.
Diberitakan sebelumnya, Anggota Komisi III DPR RI Frederik Kalalembang juga menyoroti eksekusi tongkonan di Toraja. Frederik menyesalkan proses eksekusi rumah adat itu menggunakan alat berat berupa ekskavator.
“Ada kekecewaanlah. Saya melaksanakan kunjungan spesifik kepada Polda dan pejabat utama Polda Sulawesi Selatan. Saya menanyakan bahwa saya kira bukan jalan akhir daripada mengeksekusi menggunakan ekskavator,” kata Frederik kepada wartawan dikutip Sabtu (13/12).
Menurut Frederik, tongkonan merupakan salah satu warisan leluhur yang semestinya perlu diberikan perlakuan khusus. Dia menyebut proses eksekusi tidak harus menggunakan ekskavator selayaknya bangunan lain.
“Banyak cara lain. Masih banyak waktu. Tidak usah kita… karena ini harus sudah inkrah, tidak ada yang sangkal itu bahwa kepemilikan harus dikembalikan. Tetapi kan dengan cara yang baik,” cetus Frederik.
Kurniawan menjabarkan sudah ada 3 kasus eksekusi tongkonan di Tana Toraja dan Toraja Utara yang menggunakan alat berat. Tongkonan tersebut yakni Tongkonan di Jalan Poros Kia’tang-Lion pada 3 Juli 2025, Tongkonan To’ Rombi di Kelurahan Balusu pada 26 September, dan terakhir Tongkonan Ka’pun di Kelurahan Kurra pada 5 Desember.
“Kalau kita ibaratkan tongkonan sebagai bendera pusaka, apakah saat ada pihak yang kalah, bendera juga harus dihancurkan. Tentu seharusnya dilindungi sebab tongkonan ini bagian dari cagar budaya tak benda yang dilindungi,” bebernya.
Ia menyesalkan tindakan dari pihak pengadilan dan hakim yang mengadili perkara terkait tongkonan. Seharusnya, kata dia, mereka mampu melihat bahwa eksekusi tongkonan apalagi dengan memakai alat berat akan menimbulkan polemik.
“Kami menilai ada fakta berulang yang di mana diduga hakim telah melanggar Prinsip Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) dengan penggunaan alat berat di tiga lokasi berbeda di wilayah Toraja,” tegasnya.
Kurniawan menilai tongkonan bukan sekadar bangunan biasa. Ada proses yang harus dilalui yakni terkait ritual adat (Aluk) dan diiringi doa.
“Begitupun jika harus dibongkar, baik itikad baik maupun dengan itikad tidak baik seperti sengketa hukum, seharusnya dilakukan secara baik-baik, manual, dan sesuai tata cara adat, bukan dengan merusak seperti menggunakan alat berat,” tegasnya.
Diberitakan sebelumnya, Anggota Komisi III DPR RI Frederik Kalalembang juga menyoroti eksekusi tongkonan di Toraja. Frederik menyesalkan proses eksekusi rumah adat itu menggunakan alat berat berupa ekskavator.
“Ada kekecewaanlah. Saya melaksanakan kunjungan spesifik kepada Polda dan pejabat utama Polda Sulawesi Selatan. Saya menanyakan bahwa saya kira bukan jalan akhir daripada mengeksekusi menggunakan ekskavator,” kata Frederik kepada wartawan dikutip Sabtu (13/12).
Menurut Frederik, tongkonan merupakan salah satu warisan leluhur yang semestinya perlu diberikan perlakuan khusus. Dia menyebut proses eksekusi tidak harus menggunakan ekskavator selayaknya bangunan lain.
“Banyak cara lain. Masih banyak waktu. Tidak usah kita… karena ini harus sudah inkrah, tidak ada yang sangkal itu bahwa kepemilikan harus dikembalikan. Tetapi kan dengan cara yang baik,” cetus Frederik.







