Banjir merendam 2.000 rumah di Malangke, Luwu Utara, Sulawesi Selatan, selama setahun terakhir. Namun, banjir menahun tersebut juga menjadi ladang cuan bagi segelintir warga yang membuka jasa penyeberangan menggunakan mobil dompeng.
Bupati Luwu Utara Andi Abdullah Rahim mengungkapkan bahwa jumlah rumah terendam banjir memang naik signifikan. Jumlah warga yang menjadi korban setidaknya mencapai 1.000 KK.
“Kebanjiran ini bukan 700-an tapi sekitar 2.000-an (rumah) karena kan itu data lama sebenarnya. Sekarang itu sudah berapa desa. Pattimang itu saja sekitar 1.000 KK itu yang baru terdampak, belum terdata di data yang sebelumnya itu,” kata Andi Rahim kepada infoSulsel, Senin (14/4/2025).
Andi Rahim menyebut pihaknya sudah memiliki data jumlah rumah yang rusak. Data tersebut nantinya akan diajukan kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) pusat agar mendapatkan bantuan.
“Sekarang kan kita dapat bantuan dari Badan Penanggulangan Bencana pasca bencana itu, ada bantuan renovasi rumah, kita dapat informasi sekitar 700 titik kita akan eksekusi itu,” ucapnya.
“Nanti data ini akan kami update ulang untuk kami perhadapkan kepada Badan Penanggulangan Bencana di Jakarta, sehingga bantuannya berbeda di dapat,” ungkapnya.
Andi Rahim sendiri berjanji akan memprioritaskan penyelesaian masalah banjir di wilayah Malangke. Dia menyebut pemerintah tengah fokus menutup kebocoran tanggul yang berada di titik Polewali dan Mario.
“Sekarang ini itu kita evaluasi kemudian kami mengambil inisiatif untuk memulai penanganan di titik Polewali. Sudah kami lakukan, termasuk ada beberapa lahan warga kami eksekusi untuk dijadikan sebagai peralihan alur sungai yang ada di Baliase ini,” sambungnya.
Andi Rahim menyebut Pemerintah Daerah (Pemda) akan terus berkoordinasi dengan pihak Balai terkait penanganan banjir Malangke. Selebihnya, dia juga berharap agar pemerintah provinsi mau membantu menyelesaikan masalah banjir panjang tersebut.
“Kami melakukan koordinasi secara intens kepada pihak balai. Hari ini alhamdulillah balai sudah turun lagi dia mengukur dan menghitung untuk melakukan penutupan di titik Polewali itu dan di Mario,” bebernya.
“Kita juga koordinasikan dengan bapak Gubernur supaya bisa membantu kita untuk operasi pengadaan kapal keruk, biayanya itu kan besar sekali tidak mampu daerah menangani,” harapnya.
Banjir setinggi paha orang dewasa melumpuhkan arus lalu lintas Kota Masamba-Kecamatan Malangke, di Dusun Belawa Baru, Desa Pattimang sejak April 2024 lalu. Kondisi ini menyebabkan sejumlah pengguna kendaraan bermotor tak berani menerobos banjir.
Pria bernama Heri (29) dan sejumlah warga lainnya kemudian berinisiatif membuat mobil rakitan sederhana alias dompeng. Para sopir dompeng pun mulai menawarkan jasa penyeberangan dengan mobil modifikasi tersebut.
“Penumpang biasa berhenti pas di ujung banjir. Di situ (kami) menunggu, juga tawari. Ada juga yang didatangi kalau dilihat dari jauh ragu sekali mendekat (ke arah banjir),” kata Heri kepada infoSulsel, Senin (14/4/2025).
Heri merupakan salah seorang pelopor jasa penyeberangan menggunakan mobil dompeng. Pekerjaan tersebut telah dijalaninya kurang lebih 10 bulan setelah banjir di wilayahnya tak kunjung surut.
“Saya sudah kerja ini kayaknya mulai bulan Juni tahun lalu, semenjak tidak ada mi pemasukan karena semua kebun, empang tenggelam,” ucapnya.
“Jadi saya las-las itu dompeng, kursi-kursinya saya kasi lebar dan gerobaknya di belakang makin saya buat besar dan kuat, supaya menampung banyak muatan,” sambungnya.
Dompeng sederhana dengan bunyi yang begitu nyaring itu dikenakan tarif senilai Rp 25.000 rupiah tiap menyeberangkan motor beserta pemiliknya. Sedangkan, untuk barang dikenakan tarif sesuai dengan banyaknya.
“Dompeng ku ini bisa naik (menampung) hingga 4 motor kalau di susun rapi, kalau barang dan orangnya bisa di sela-selanya motor dia. Tarifnya sendiri Rp 25.000 motor sama orangnya, barang sesuai banyaknya ji, sedangkan kalau warga mau menyeberang berapa-berapa (seikhlasnya),” bebernya.
Saat membela banjir sepanjang kurang lebih 500 meter, mobil dompeng nampak begitu perkasa. Ketika menyeberang, dompeng dikemudikan oleh seorang sopir dan dibantu 1-2 kernet yang menjaga di gerobak belakang.
“Harus tetap ada yang jaga itu gerobak di belakang, karena tidak ditahu kalau misalnya ada lubang, banyak juga pembelokan pasti goyang motor di belakang,” jelasnya.
Pemasukan menjadi sopir dompeng juga tidak main-main. Heri mampu memperoleh Rp 500 hingga 1 juta rupiah setiap harinya.
“Paling sedikitlah Rp 500 ribu rupiah, biasa juga lebih 1 juta kalau lagi ramai-ramai orang mau menyeberang kaya ada pesta atau bagaimana,” katanya.
“Dulu bahkan tidak pernah di bawah 2 juta waktu masih sedikit dompeng, sekarang lumayan banyak mi kerja begini, tapi alhamdulillah cukup sekali ji untuk makan,” tambahnya.
Heri menjelaskan pemasukan yang diperolehnya setiap hari langsung dibagi kepada kernet yang membantunya. Nominalnya sesuai dengan pemasukan di hari itu.
“Kalau didapat misalnya Rp 700 ribu rupiah, dikasi keluar Rp 100-150 ribu untuk pembeli solar, sisanya itu bagi dua mi,” beber Heri.
Heri mengungkapkan sebenarnya terdapat jalan alternatif, hanya saja sebagian orang menolak melewati akses tersebut. Sebab akses jalan tersebut begitu panjang dan berlubang.
“Banyak ji jalan pintas sebenarnya, cuma begitu biasa sama ji. Apalagi kalau sudah hujan tenggelam tonji biasa bannya motor,” tutupnya.