Peneliti mengungkap fakta Bulan semakin menjauh dari Bumi sekitar 3,8 cm setiap tahun. Mereka menerangkan interaksi Bulan dan Bumi melalui fenomena gravitasi dan pasang surut air laut.
Peneliti astrofisika di Michigan State University Stephen DiKerby mengatakan ilmuwan menembakkan laser ke cermin yang ditinggalkan di Bulan oleh astronot untuk mengukur jarak ke Bulan. Dia membeberkan cara tersebut juga dapat melacak perubahan jarak Bumi ke Bulan dari tahun ke tahun.
“Dengan mengukur jumlah waktu yang dibutuhkan cahaya untuk menempuh perjalanan ke Bulan dan kembali, para ilmuwan dapat mengukur jarak ke Bulan secara tepat dan bagaimana jarak tersebut berubah,” dilansir dari infoEdu yang mengutip Science Alert pada Selasa (16/9/2025).
Diketahui, jarak rata-rata Bulan ke Bumi sekitar 385.000 km. Namun jarak bulan bisa berubah hingga 20.000 km setiap bulannya karena dipengaruhi orbit bulan yang berbentuk elips.
DiKerby membeberkan mempelajari gerak bulan seiring waktu membantu ilmuwan memahami perubahan Bumi dan Bulan. Dia mengungkap Bumi dan Bulan telah berubah sejak terbentuk sekitar 4,5 miliar tahun lalu.
DiKerby mengatakan gravitasi di Bulan lebih kuat di sisi Bumi yang dekat, sehingga membentuk tonjolan air laut ke arah Bulan. Di sisi jauh Bumi, gravitasi lebih lemah, tapi tetap terbentuk tonjolan air yang lebih kecil.
DiKerby menerangkan saat Bumi berotasi tonjolan tersebut mengarah ke depan dan tidak persis mengarah ke Bulan. Tonjolan yang maju itu menarik Bulan ke depan, sehingga orbit bulan melebar dan Bulan perlahan-lahan menjauh dari Bumi.
“Tarikan ke depan dari tonjolan pasang surut yang lebih dekat ini menyebabkan Bulan bergerak lebih cepat, yang menyebabkan ukuran orbitnya bertambah,” ujar DiKerby.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
DiKerby menganalogikan menjauhnya Bulan dari Bumi seperti memukul bola lebih kencang agar terbang lebih jauh. Dia mengatakan orbit bulan yang melebar karena dorongan tonjolan pasang surut ini.
DiKerby menjelaskan saat orbit bulan membesar dan momentum bulan bertambah rotasi Bumi akan sedikit melambat sehingga membuat satu hari di Bumi menjadi sedikit lebih panjang. Dia menegaskan aktivitas sehari-hari manusia tetap normal, dan fenomena seperti pasang surut, supermoon, maupun gerhana tetap bisa dinikmati.
“Efeknya sangat kecil sekitar 1,5 inci per tahun dibandingkan dengan jarak 239.000 mil (384.000 km) hanya 0,00000001% per tahun. Kita akan terus mengalami gerhana, pasang surut, dan hari-hari yang berlangsung selama 24 jam selama jutaan tahun,” ujar DiKerby.
Awalnya pada sekitar 4,5 miliar tahun lalu terjadi tabrakan antara Bumi muda dan protoplanet seukuran Mars. Tabrakan tersebut melemparkan material ke luar angkasa yang kemudian membentuk Bulan.
Astronomi memprediksi jarak Bulan dan Bumi lebih dekat sehingga terlihat jauh lebih besar di langit. Mereka menjelaskan rotasi Bumi dulu lebih cepat dan Bulan lebih dekat sebagaimana bukti fosil kerang menunjukkan bahwa 70 juta tahun lalu satu hari di Bumi hanya berdurasi 23,5 jam.
Dalam sekitar satu miliar tahun, proses Bulan menjauh berhenti karena Matahari akan semakin panas dan membuat lautan berkurang sehingga tonjolan pasang surut air hilang. Matahari akan menjadi raksasa merah yang menghancurkan Bumi dan Bulan.
DiKerby menuturkan efeknya sangat bertahap, sehingga Bulan, pasang surut, supermoon, dan gerhana masih bisa dinikmati tanpa khawatir. Bulan yang perlahan menjauh dari Bumi tetap menghadirkan pemandangan malam yang memukau.
“Namun, peristiwa-peristiwa ini masih sangat jauh di masa depan sehingga Anda tidak perlu khawatir. Anda hanya bisa menikmati pasang surut di pantai, gerhana matahari, dan Bulan kita yang indah,” pungkas DiKerby.