4 Petinggi NFRPB Didakwa Makar Mau Pisahkan Papua Barat dari NKRI

Posted on

Empat anggota Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) (sebelumnya disebut NRFPB) di Sorong, Papua Barat Daya, menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Mereka didakwa melakukan makar memisahkan Papua Barat dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sidang perdana dengan agenda pembacaan surat dakwaan tersebut berlangsung di Ruangan Arifin A Tumpa, PN Makassar, Senin (8/9/2025) sekitar pukul 11.45 Wita. Keempat terdakwa antara lain Abraham Goram Gaman, Piter Robaha, Maksi Sangkek, dan Nikson May.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengatakan dugaan makar ini bermula ketika terdakwa Abraham mendapatkan perintah dari Forkorus Yaboisembut, selaku Presiden NFRPB pada Selasa (25/3) lalu. Abraham diminta untuk mengantarkan surat resmi NFRPB kepada seluruh Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) di Sorong Raya.

“Surat tersebut memuat pernyataan dan klaim politik NFRPB, termasuk surat perundingan damai kepada Presiden Republik Indonesia, dan sejumlah dokumen lampiran yang mengisyaratkan struktur kenegaraan tandingan,” ujar jaksa membacakan dakwaannya dalam persidangan.

Abraham kemudian menghubungi rekannya, terdakwa Piter Robaha dan terdakwa Nikson May pada Rabu (9/4). Dia meminta keduanya untuk hadir dalam rapat koordinasi yang bertempat di kediamannya pada Kamis (10/4).

“Sekitar pukul 10.00 WIT, berlangsunglah rapat tersebut yang juga dihadiri oleh beberapa anggota NFRPB lain, termasuk Saksi Maksi Sangkek dan saudari Yuliana Suruwe. Dalam rapat tersebut, Abraham menjelaskan maksud dan tujuan kegiatan, serta menetapkan tugas masing-masing peserta,” jelas jaksa.

“Ia menyatakan bahwa pengantaran surat-surat akan dilakukan secara serentak ke sejumlah kantor pemerintahan di Kota Sorong pada hari Senin, tanggal 14 April 2025, dengan titik kumpul di kediaman terdakwa,” lanjutnya.

Lebih lanjut, dokumen yang akan disebarkan tersebut mulai dicetak dan dikumpulkan oleh terdakwa Abraham. Dalam dokumen tersebut juga berisi surat ajakan perundingan damai dengan pemerintah RI terkait pengakuan dan peralihan kedaulatan Papua Barat.

Selain itu, surat tersebut juga memuat rencana penataan struktur organisasi negara, termasuk lembaga pemerintahan, militer, dan kepolisian NFRPB. Jaksa menyebut jika pihak NFRPB juga menyampaikan bahwa akan membuka dan memasang papan nama di Kantor Sekretariat NFRPB secara bertahap, mulai dari tingkat pusat hingga kampung-kampung.

“Selaku Presiden NFRPB telah mengeluarkan suatu Instruksi Presiden NFRPB untuk diketahui dan diberikan toleransi yang sejuk dan damai dari pihak pemerintah Republik Indonesia dalam implementasinya,” terangnya.

“Sebagai dua negara bangsa yang merdeka dan bermartabat. Walau pun pengakuan secara terbuka terhadap eksistensi NFRPB oleh pemerintah Indonesia belum ada, sesuai sejumlah hukum internasional yang sudah saya tulis di dalam Instruksi Presiden NFRPB beserta lampiran Instruksi Presiden NFRPB dan press release resmi yang secara substansial memuat narasi pemisahan Papua dari Republik Indonesia,” sambungnya.

Presiden NFRPB Forkorus Yaboisembut pun menunjuk para Terdakwa sebagai pengawal dan pendamping dalam kegiatan tersebut. Masing-masing orang mengenakan atribut resmi dari NFRPB seperti seragam dinas, baret, hingga kartu identitas palsu yang menyerupai simbol kenegaraan.

Pada 14 April 2025, terdakwa Abraham meminta anaknya untuk merekam video yang berdurasi 2 menit 29 info di depan rumahnya. Dalam video tersebut, ia mengaku didampingi oleh polisi NFRPB yakni terdakwa Piter dan terdakwa Maksi, serta tentara NFRPB yaitu terdakwa Nikson untuk mengantar surat presiden NFRPB beserta lampiran yang berisi ajakan perundingan damai dengan pemerintah RI.

Setelah perekaman, para terdakwa bergerak mendatangi sejumlah kantor pemerintahan dan aparat di Sorong untuk menyerahkan surat tersebut kepada unsur forkopimda. Mereka menggunakan pakaian berwarna biru dan mengaku dari NFRPB.

“Isi surat menunjukkan niatan politik untuk memisahkan wilayah Papua Barat dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengajak pemerintah pusat untuk melakukan perundingan damai atas nama entitas negara baru,” katanya.

Dokumentasi yang sebelumnya direkam itu diunggah ke akun Facebook milik anak terdakwa Abraham pada Senin (14/4) sekitar pukul 15.59 WIT. Unggahan tersebut kemudian dilaporkan ke Polresta Sorong Kota.

“Berdasarkan laporan tersebut, penyelidikan segera dilakukan dan pada tanggal 28 April 2025 penyidik menetapkan terdakwa Abraham Goram Gaman, saksi Piter Robaha, saksi Maksi Sangkek, dan Saksi Nikson May sebagai terdakwa dan langsung dilakukan penangkapan serta penahanan terhadap keempatnya,” paparnya.

Perbuatan keempat terdakwa disebut melanggar Pasal 110 ayat 1 KUHP juncto Pasal 106 KUHPidana pada dakwaan kesatu. Kemudian pada dakwaan kedua, perbuatan para terdakwa diatur dalam Pasal 106 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Tidak hanya itu, para terdakwa juga dikenakan Pasal 106 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 53 KUHPidana juncto Pasal 87 KUHPidana.

Sebagai informasi, sejumlah mahasiswa asal Papua menggelar aksi unjuk rasa di depan PN Makassar menjelang sidang dakwaan empat anggota tersebut. Massa menuntut para terdakwa dibebaskan.

“Kriminalisasi empat aktivis politik Papua tersebut menunjukkan negara terus merepresi hak atas kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul dan menyampaikan pendapat,” kata ketua KNPB Wilayah Makassar Andarias Sondegau dalam pernyataannya yang dikutip infoSulsel, Senin (8/9).

“Ditangkap hanya karena menyampaikan aspirasi politik secara damai dengan mendatangi kantor-kantor pemerintah Papua Barat Daya tanpa penggunaan kekerasan harusnya dilindungi,”tambahnya.

Sebar Edaran ke Forkopimda di Sorong

Pada 14 April 2025, terdakwa Abraham meminta anaknya untuk merekam video yang berdurasi 2 menit 29 info di depan rumahnya. Dalam video tersebut, ia mengaku didampingi oleh polisi NFRPB yakni terdakwa Piter dan terdakwa Maksi, serta tentara NFRPB yaitu terdakwa Nikson untuk mengantar surat presiden NFRPB beserta lampiran yang berisi ajakan perundingan damai dengan pemerintah RI.

Setelah perekaman, para terdakwa bergerak mendatangi sejumlah kantor pemerintahan dan aparat di Sorong untuk menyerahkan surat tersebut kepada unsur forkopimda. Mereka menggunakan pakaian berwarna biru dan mengaku dari NFRPB.

“Isi surat menunjukkan niatan politik untuk memisahkan wilayah Papua Barat dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengajak pemerintah pusat untuk melakukan perundingan damai atas nama entitas negara baru,” katanya.

Dokumentasi yang sebelumnya direkam itu diunggah ke akun Facebook milik anak terdakwa Abraham pada Senin (14/4) sekitar pukul 15.59 WIT. Unggahan tersebut kemudian dilaporkan ke Polresta Sorong Kota.

“Berdasarkan laporan tersebut, penyelidikan segera dilakukan dan pada tanggal 28 April 2025 penyidik menetapkan terdakwa Abraham Goram Gaman, saksi Piter Robaha, saksi Maksi Sangkek, dan Saksi Nikson May sebagai terdakwa dan langsung dilakukan penangkapan serta penahanan terhadap keempatnya,” paparnya.

Perbuatan keempat terdakwa disebut melanggar Pasal 110 ayat 1 KUHP juncto Pasal 106 KUHPidana pada dakwaan kesatu. Kemudian pada dakwaan kedua, perbuatan para terdakwa diatur dalam Pasal 106 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Tidak hanya itu, para terdakwa juga dikenakan Pasal 106 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 53 KUHPidana juncto Pasal 87 KUHPidana.

Sebagai informasi, sejumlah mahasiswa asal Papua menggelar aksi unjuk rasa di depan PN Makassar menjelang sidang dakwaan empat anggota tersebut. Massa menuntut para terdakwa dibebaskan.

“Kriminalisasi empat aktivis politik Papua tersebut menunjukkan negara terus merepresi hak atas kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul dan menyampaikan pendapat,” kata ketua KNPB Wilayah Makassar Andarias Sondegau dalam pernyataannya yang dikutip infoSulsel, Senin (8/9).

“Ditangkap hanya karena menyampaikan aspirasi politik secara damai dengan mendatangi kantor-kantor pemerintah Papua Barat Daya tanpa penggunaan kekerasan harusnya dilindungi,”tambahnya.

Sebar Edaran ke Forkopimda di Sorong

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *